Sebagaimana belakangan ramai diberitakan, tarif cukai rokok akan dinaikkan mulai Januari 2020 mendatang. Kenaikan tarif cukai yang kemungkinan besar akan berdampak pada kenaikan harga rokok hingga 35% ini sangat berpotensi "mengganggu" penjualan rokok kepada konsumen.Â
Sebagaimana umumnya, sebuah bisnis yang mengalami gangguan pada lini penjualannya, maka hal itu akan berdampak langsung terhadap jalannya operasional bisnis secara keseluruhan.Â
Termasuk di antara efek yang ditimbulkan akibat hal ini adalah kemungkinan adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi para pekerja pabrik rokok.Â
Apalagi saat ini masih cukup banyak produk-produk rokok yang mengandalkan tenaga manual manusia, sehingga dengan kemungkinan penurunan penjualan rokok yang berakibat pada penurunan jumlah produksi rokok.
Hal tersebut perlahan tapi pasti akan "memaksa" perusahaan rokok untuk memangkas jumlah tenaga kerjanya. Belum lagi dengan nasib para pemasok seperti petani tembakau, penyedia bungkus rokok, dan lain sebagainya.
Selama ini keberadaan industri rokok memang masih mengundang banyak kontroversi.Â
Sebagian kalangan menilai keberadaan industri rokok penting bagi penyediaan lapangan kerja. Namun di sisi lain, rokok juga "dibenci" karena dikhawatirkan akan merusak aspek kesehatan seseorang.Â
![Para pekerja pabrik rokok | Sumber gambar : www.merdeka.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/10/26/pekerja-manual-rokok-5db3c9630d823034ae467dc2.jpg?t=o&v=770)
Rokok tidak dilarang secara tegas, namun digembar-gemborkan sebagai barang yang "haram" untuk "dikonsumsi" publik.Â
Pemerintah sendiri sebenarnya "cukup senang" dengan keberadaan industri rokok ini, mengingat nilai cukainya yang lumayan besar.Â
Rokok berada di persimpangan antara diharap dan dihujat. Kasihan sekali nasibnya.