Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyatakan bahwa "formasi" menteri pada Kabinet Kerja Jilid II telah selesai disusun dan sudah lengkap. Beberapa nama lama dan muka baru pun digadang-gadang akan masuk di dalamnya.
Akan tetapi dalam pemilihan anggota kabinet kali ini presiden sepertinya menempuh jalan yang berbeda dibandingkan dengan saat periode pertama penentuan anggota kabinet lima tahun lalu.
Pada saat itu nama-nama yang telah dipilih presiden untuk menjadi bagian dari kabinet terlebih dahulu "diserahkan" kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk diperiksa track record-nya apakah memiliki keterkaitan dan keterlibatan terkait tindak pidana korupsi atau tidak.
Sebuah langkah yang pada saat itu banyak diapresiasi seiring semangat presiden yang ingin membangun tim kerja kabinet yang bersih dan bebas korupsi.
Pada penentuan anggota kabinet kali ini Presiden Jokowi ternyata memilih untuk tidak melibatkan KPK dalam menentukan nama-nama yang akan diusungnya sebagai bagian dari tim kabinet di era kepemimpinan beliau yang kedua ini.
Salah seorang staf kepresidenan, Ali Mochtar Ngabalin, mengatakan agar jangan sampai KPK terbawa perasaan (baper) karena merasa tidak lagi dilibatkan dalam penentuan anggota kabinet kali ini.
Bagaimanapun juga, penentuan anggota kabinet memang merupakan hak prerogatif presiden dan disana tidak ada keharusan untuk melibatkan KPK dalam prosesnya.
Bahkan beberapa presiden terdahulu pun juga tidak melibatkan KPK saat hendak menyeleksi nama-nama calon menterinya. Memang benar kata Ali Mochtar Ngabalin, KPK tidak perlu baper.
Akan tetapi selalu ada sisi menarik dari perbedaan kebijakan yang diambil oleh seorang presiden. Ketika periode pertama dulu Presiden Jokowi melibatkan KPK sedangkan di periode keduanya justru sebaliknya, wajar kiranya apabila publik menerka-nerka terkait apa sebenarnya yang terjadi dibalik perubahan kebijakan ini.
Adakah sesuatu yang "spesial" sehingga presiden merasa tidak perlu lagi melibatkan KPK dalam menyusun kabinetnya? Menurut penulis setidaknya ada tiga alasan terkait mengapa Presiden Jokowi enggan menjadikan KPK sebagai tools untuk menyeleksi calon menteri beserta segenap jajaran anggota kabinetnya.
1. Keterlibatan KPK dianggap tidak Efektif dalam mencegah korupsi di jajaran kabinet
Tentu kita masih ingat beberapa waktu lalu ada salah seorang menteri didalam Kabinet Kerja Jilid I yang ditangkap oleh KPK terkait dugaan tindak pidana korupsi.
Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi ditangkap oleh KPK terkait dugaan penyalahgunaan dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) yang disalurkan melalui Kemenpora.
Bahkan selain Imam Nahrawi, nama Idrus Marham terlebih dahulu menjadi pesakitan di KPK seiring menjadi tersangka kasus korupsi PLTU Riau-1.
Dari dua peristiwa inilah barangkali Presiden Jokowi kemudian beranggapan bahwa melibatkan KPK pada awal penentuan calon menterinya tidak berkontribusi signifikan dalam mencegah terjadinya korupsi di lingkungan kabinet.
Sekilas mungkin "hanya" dua menteri saja yang tertangkap KPK karena korupsi, tetapi dua orang itu adalah jumlah yang sangat banyak untuk ukuran kasus korupsi.
Orang-orang yang memiliki rekam jejak bersih dari korupsi dan tidak memiliki keterkaitan apapun dengan penyelewengan birokrasi sekalipun bisa seketika terjerat dan menjadi tersangka kasus korupsi. Sepertinya sejauh ini masih sulit untuk memastikan seseorang yang "terlihat" bersih diawal akan bisa seterusnya demikian.
2. Komposisi 45 -- 55 untuk menteri dari kalangan profesional dan partai politik
Dalam sebuah kesempatan "sesepuh" Partai Golkar, Akbar Tanjung, sedikit memberi bocoran terkait komposisi menteri yang nanti akan mengisi pos-pos pada Kabinet Kerja Jilid II.
Meskipun belum jelas apakah 45% diisi oleh profesional dan 55% partai politik (parpol) atau sebaliknya, setidaknya hal ini sudah memberi kita gambaran bahwa kabinet yang terbentuk nanti akan diisi oleh nama-nama yang sering bersentuhan dengan birokrasi dimasa lalu.
Ini artinya ada kemungkinan nama-nama yang dipilih presiden berpotensi "digagalkan" sebagai menteri andaikata KPK terlibat didalamnya seperti halnya nama Dahlan Iskan yang "gugur" dalam seleksi penentuan calon menteri Kabinet Kerja Jilid I beberapa tahun lalu. Dahlan Iskan dianggap memiliki keterkaitan dengan suatu kasus yang rentan membuatnya menjadi tersangka kasus korupsi pada waktu itu.
Seiring keinginan Presiden Jokowi yang ingin membangun tim kabinet yang lincah bergerak pada periode kedua kepemimpinannya, tentu beliau tidak ingin orang-orang pilihannya nanti justru "digugurkan" satu demi satu oleh KPK.
Bukan tugas mudah tentunya bagi presiden saat harus memilih beberapa nama saja dari sekian banyak nama kandidat yang ada. Beliau pasti memiliki preferensi dan pertimbangan tertentu dalam menentukan anggota kabinetnya.
3. Hubungan KPK dan pihak istana yang semakin renggang
Sudah bukan rahasia lagi kalau pemerintah dianggap ikut berkontribusi terhadap upaya pelemahan KPK seiring disahkannya revisi Undang-Undang KPK akhir September 2019 lalu. Draft revisi UU KPK yang diajukan DPR kepada Presiden Jokowi tidak mendapatkan penolakan. Dengan kata lain presiden turut serta menyetujui adanya revisi UU KPK tersebut.
Bahkan beberapa saat setelah pengesahan revisi UU KPK tersebut, pimpinan KPK membuat sebuah pernyataan menyerahkan kembali mandat tugasnya kepada Presiden Jokowi. Kejadian-kejadian ini sepertinya sudah menciptakan kecanggungan di antara KPK dengan pihak istana. Sehingga tidak aneh kiranya apabila KPK dan presiden tidak "berkolaborasi" lagi.
Terlepas dari apapun alasan yang mendasari Presiden Jokowi untuk tidak lagi melibatkan KPK dalam menyusun komposisi anggota kabinet, kita tetap harus menghormati hak prerogatif yang beliau miliki. Kita cukup berprasangka baik saja terhadap bapak presiden karena bagaimanapun juga beliau adalah sosok yang dikehendaki mayoritas rakyat di negeri ini.