Salah seorang korban meninggal dunia akibat demonstrasi kisruh di sekitar gedung DPR beberapa waktu lalu, Akbar Alamsyah, meninggal dunia kemarin (10/10).Â
Almarhum meninggal dunia setelah beberapa hari koma dan dirawat di rumah sakit dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Kepala luka parah dan ada bekas lebam seperti menjadi korban pemukulan.Â
Namun pernyataan yang disampaikan oleh pihak kepolisian menyebutkan bahwa Akbar Alamsyah terjatuh saat melewati pagar dalam rangka menghindari kerusuhan yang saat itu terjadi. Meskipun pihak keluarga, khususnya ibu korban masih tidak percaya dengan hal ini.
Sebuah ironi tentunya saat nyawa manusia harus melayang dalam sebuah "prosesi" yang sebenarnya dimaksudkan untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Mengapa sebuah gerakan yang semestinya penuh rasa damai justru berakhir dengan hilangnya nyawa seseorang? Teramat mahalkah demokrasi kita sehingga hal itu sampai harus "menumbalkan" nyawa manusia? Sedikit menengok jauh kebelakang , reformasi tahun 1998 juga menelan korban yang jumlahnya bahkan lebih banyak.
 Para aktivitas yang waktu itu menjadi korban kemudian dilabeli sebagai pahlawan reformasi, sebagai martir. Apakah sebutan sebagai martir juga layak disematkan kepada Akbar Alamsyah? Penyebab kematian almarhum Akbar mungkin masih menyisakan misteri. Apakah ia korban tindak kekerasan ataukah karena kecelakaan terjatuh dari pagar? Entahlah. Semua masih harus dibuktikan.
Menjadi "pihak" yang bersedih dari sebuah peristiwa demonstrasi ricuh seperti yang dialami keluarga Akbar Alamsyah tentu sangat menyakitkan. Terlebih bagi seorang ibu yang harus ditinggal pergi putra tercintanya. Namun kesedihan itu ternyata tidak sebatas itu. Keluarga harus mendapati kenyataan bahwa pada saat almarhum masih dalam keadaan koma serta berjuang antara hidup dan mati, mereka justru menerima berita bahwa Akbar Alamsyah berstatus tersangka.
Betapa kagetnya pihak keluarga saat mengetahui bahwa kerabat tercintanya yang terbaring koma malah dilabeli "penjahat". Bagaimanapun juga label tersangka itu disematkan karena anggapan bahwa seseorang telah melanggar hukum. Dan hal itulah yang dialami oleh almarhum Akbar Alamsyah.
Mengapa Akbar Alamsyah sampai harus ditetapkan sebagai tersangka? Sebagaimana dilansir oleh tirto.id, almarhum Akbar Alamsyah ditetapkan polisi sebagai tersangka pada 26 September 2019 lalu atas dugaan perusakan, penghasutan, dan provokasi. Entah pernyataan ini benar atau salah karena dari sisi pihak keluarga menyatakan bahwa Akbar hanya sebatas ingin menonton demo. Siapa yang benar dan siapa yang salah memang sulit untuk dibuktikan karena sekarang Akbar Alamsyah sudah pergi lebih dahulu untuk bertemu dengan Sang Pemilik Keadilan yang sebenarnya.
Barangkali saat penetapan status tersangka itu muncul Akbar samasekali tidak mengetahuinya. Â Ia tengah terbaring lemah tak berdaya. Menjadi korban yang tersakiti, namun sekaligus berstatus tersangka. Setelah ia dimakamkan akankah "statusnya" berubah menjadi seorang martir yang kehilangan nyawanya dalam sebuah "prosesi" demokrasi, ataukah tetap sebagai tersangka yang belum sempat "diadili"? Terlepas dari apapun status yang menyertai almarhum Akbar, kita semua patut bersedih melihat hilangnya nyawa manusia akibat ricuh demonstrasi. Kita tentu berharap bahwa tidak ada lagi "Akbar yang lain" yang harus membayar mahal keberlangsungan demokrasi di Indonesia.Â
Kita semua mesti banyak belajar dan mengevaluasi sikap dan integritas masing-masing pihak. Bisa jadi demonstran berlaku tidak semestinya, mungkin saja aparat bertindak terlalu keras, atau mungkin kita semua sama-sama terbakar emosi sesaat hingga melupakan pentingnya menjaga nyawa saudara-saudara sebangsa kita ini. Demonstran dan aparat bukanlah musuh. Demikian juga dengan orang-orang yang tidak terlibat samasekali terhadap keduanya.
Rakyat bukanlah musuh penguasa, demikian juga sebaliknya. Namun sepertinya pemahaman kita masih terkotak-kotak hingga memisahkan dan membatasi antara warga negara dengan para pejabat publik pelaksana amanah rakyat. Sekat itu harus dihilangkan. Tidak bisakah kita menjadi bangsa yang menyelesaikan masalah tanpa masalah?