Selama ini, orang-orang yang turut beraprtisipasi dalam gerakan 212 ada yang diafiliasikan sebagai pendukung khilafah di Indonesia. Sudah bukan rahasia lagi kalau selama beberapa waktu terakhir ini agama seringkali dibenturkan dengan kepentingan politik beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab. Selepas aksi 212 mengemuka beberapa tahun lalu, tudingan terkait aktifnya gerakan khilafah di Indonesia semakin meluas. Banyak kalangan yang memperbincangkan hal ini, terkait layak tidaknya khilafah diberlakukan di Indonesia.
Sebagian pihak yang pro khilafah menganggap bahwa situasi bangsa saat ini hanya mampu diselesaikan dengan mengadopsi khilafah. Namun bagi pihak yang kontra khilafah beranggapan bahwa hal itu justru akan menciptakan instabilitas dalam berbangsa dan bernegara. Terlepas dari baik buruknya impelementasi khilafah, Indonesia sendiri pada dasarnya sudah memiliki pedoman yang mumpuni untuk menjadi sebuah bangsa yang hebat dan beradab. Nilai-nilai yang termaktup didalam Pancasila sudah "lebih dari cukup" untuk mengakomodasi kehidupan bangsa Indonesia. Permasalahannya bukan pada pedomannya, namun pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang memang masih memerlukan pembenahan demi pembenahan.
Terkait keberadaan khilafah sendiri, sikap pemerintah sebagaimana pernah disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto sekitar tahun 2017 lalu, menyatakan bahwa ideologi ini dilarang di Indonesia. Meskipun begitu, "simpatisan" dari ideologi ini masih cukup banyak di Indonesia. Organisasi Kemasyarakat (Ormas) seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dianggap sebagai salah satu organisasi yang membawa serta ideologi khilafah ini tumbuh dan berkembang di Indonesia. Hal itu kemudian yang melandasi pemerintah untuk menarik izin keberadaan HTI alias dibubarkan.
Bendera berlafal kalimat tauhid selama ini memang diklaim sebagai bendera gerakan khilafah. Sehingga ketika di tengah-tengah suasana bangsa yang sedang tidak kondusif sekarang ini kemudian muncul "segerombolan" orang berdemontrasi membawa panji-panji "berbau" khilafah, maka akan muncul anggapan simpatisan gerakan khilafah turut serta dalam aksi ini. Meskipun tuntutan yang disampaikan oleh masa Aksi Mujahid 212 adalah seputar penanganan aksi mahasiswa yang dinilai represif, tentang penanganan kerusuhan Papua, serta penanganan karhutla namun tetap saja image yang terlanjur melekat pada simpatisan aksi 212 "tidak akan jauh-jauh" dari gerakan khilafah.
Atribut yang menonjol dalam sebuah aksi demo tidak selalu mencerminkan afiliasi yang terkait dengan gerakan yang mereka usung. Sama halnya ketika Aksi Mujahid 212 melakukan demontrasi dengan membawa atribut bendera tauhid itu tidak berarti mereka berafiliasi dengan ideologi khilafah. Selama poin-poin yang diusung dalam aksi demo tidak mewakili "semangat" ideologi khilafah, maka hal itu sah-sah saja. Bahkan setiap orang dari berbagai latar belakang golongan, ras, dan agama pun berhak melakukan hal serupa. Mereka bisa membawa atribut apapun asalkan tidak sampai menciptakan kericuhan maka hal itu tidak menjadi masalah.
Kehadiran Aksi Mujahid 212 adalah pertanda lain bahwa pemerintah dan segenap elit di negeri ini patut lebih memperhatikan aspirasi masyarakatnya. Mahasiswa sudah turun ke jalan. Kini masyarakat yang mengatasnamakan diri mereka sebagai Mujahid 212 juga ikut melakukan hal serupa. Jangan sampai menunggu aksi masa yang lebih besar baru kemudian pejabat negeri ini luluh hatinya. Sudah banyak korban berjatuhan, dari yang ditangkap, terluka, sampai meninggal dunia. Bukan waktunya menciptakan imaginasi bahwa aksi yang belakangan terjadi ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu. Semestinya konsentrasi yang diperlukan adalah agar bagaimana supaya suasana kembali kondusif.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H