Semasa menjalani kuliah dulu, istilah SKS mungkin bisa dikatakan sebagai salah satu istilah paling populer di kalangan mahasiswa. Secara formal, SKS adalah akronim dari Satuan Kredit Semester.Â
Namun akronim ini sering dipelesetkan menjadi Sistem Kebut Semalam seiring kebiasaan sebagian mahasiswa yang baru mulai mengerjakan tugas atau belajar mata kuliah semalam sebelum tugas dikumpulkan atau kuis diberikan oleh dosen pengajar.Â
Sebenarnya SKS adalah representasi dari para mahasiswa yang mengikuti teori The Power of Kepepet. Karena keburu waktu tugas yang harus dikumpulkan besok pagi, mau tidak mau harus begadang hingga larut malam untuk menyelesaikan tugas. SKS terbukti ampuh bagi beberapa kalangan mahasiswa yang penuh dengan dinamika kehidupan masa mudanya.
Waktu berlalu dan generasi mahasiswa terus silih berganti. Ternyata budaya SKS ini tidak lekang oleh waktu. Masih banyak mahasiswa yang menjadikannya sebagai "jurus pamungkas".Â
Tidak hanya itu, para "mantan" mahasiswa pun ternyata masih terus "memegang teguh" kebiasaan ini. Para mantan mahasiswa yang kini telah tumbuh dewasa dan sebagian diantaranya menjadi wakil rakyat masih ikut "mempraktekan" budaya SKS dalam menjalankan tugas-tugasnya. Masa jabatan selama lima tahun tidak bisa dibilang sebagai waktu yang sebentar.Â
Akan tetapi ketok palu pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) sebagian besar terjadi justru menjelang akhir masa jabatan. Tanggal 30 September 2019 nanti merupakan waktu akhir dari masa pengabdian para wakil rakyat kita. Ironisnya, pada bulan September ini juga sepertinya merupakan puncak dari pengesahan sebagian RUU yang telah sekian lama dibahas.Â
Para wakil rakyat kita seolah sedang "kejar target" pengesahan RUU menjadi UU. Libas, cepat, tuntas. Revisi UU KPK tuntas dalam tempo 13 hari saja. Super cepat. RUU yang masih mengundang kontroversi seperti RUU KUHP tengah mendekati tahap akhir ketok palu. Wakil rakyat kita sedang menjalankan Sistem Kebut Sidang. Meskipun ada banyak pihak yang menentang, seolah itu hanya menjadi angin lalu saja.
Si empunya SKS "yang sesungguhnya" kini tengah mendatangi gedung dewan untuk menuntut para wakil rakyat yang kerjanya secara SKS itu. Para mahasiswa dari berbagai penjuru datang berbondong-bondong melontarkan kritik, sindiran, bahkan protes keras kepada para wakilnya. Tuntutan mereka jelas, pembatalan beberapa Undang-Undang yang memantik kekacauan publik, salah satunya revisi UU KPK. RUU KUHP juga tidak luput dari sorotan para mahasiswa karena dianggap "aneh" pada beberapa poinnya.Â
Bagaimanapun juga, wakil rakyat haruslah mendengar seruan rakyatnya. Ketika ada yang mengusik ketenangan publik, itu artinya ada tindakan dari para wakil rakyat yang "salah". Mungkin ada perbedaan persepsi, mungkin ada perbedaan sudut pandang, dan lain sebagainya. Jangan sampai pemerintah dan DPR bertindak "grusah-grusuh" dalam mengesahkan suatu Undang-Undang. Hanya demi mengejar target produk Undang-Undang, hal itu jangan sampai menciptakan kekacauan publik yang efeknya sudah pasti merugikan banyak kalangan. S
emestinya kita bisa belajar dari kasus-kasus terdahulu dimana carut marut politik kita seringkali mengorbankan sektor-sektor lain yang lebih produktif dan memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. SKS ini bisa dibilang sebagai preseden buruk wakil rakyat yang kerjanya seringkali menunda-nunda dan baru dikebut semuanya di akhir. Akibatnya hal itu justru memantik banyak pertentangan.
Semestinya, wakil rakyat di periode baru nanti mau dan mampu belajar dari hal ini. Waktu lima tahun masa jabatan bukan berarti semua dibereskan pada tahun kelima. Mungkin wakil rakyat kita ingin mengakhiri masa tugasnya dengan "khusnul khotimah". Menciptakan akhir yang baik. Namun melihat kekisruhan yang terjadi saat ini harapan itu bisa jadi akan berbalik menjadi "su'ul khotimah". Akhir yang buruk.