"Penolakan" atas rencana ekspansi Gojek ke Malaysia yang diwakili oleh pernyataan Datuk Shamsubahrin Ismail beberapa waktu lalu dengan menyebut bahwa Gojek hanya pantas untuk negara miskin seperti Indonesia mungkin masih menyisakan luka hingga kini.Â
Meskipun bos taksi asal negeri jiran itu sudah menyampaikan permintaan maafnya secara terbuka kepada publik, akan tetapi hal itu belum sepenuhnya menghapus "rasa sakit" yang telah ia timbulkan kepada Bangsa Indonesia.Â
Ketersinggungan itu sepertinya telah menjalar ke beberapa hal lain. Di antaranya kekisruhan pasca pertandingan Pra Piala Dunia antara Indonesia vs Malaysia tanggal 05 Agustus 2019 lalu.Â
Selain memang tensi pertandingan yang cukup tinggi, "kekesalan" yang mungkin masih membekas atas "hinaan" sebagai bangsa miskin barangkali turut andil memantik terjadinya kisruh. Bahkan alam Indonesia seakan tidak terima sehingga "mengirimkan" kabut asapnya ke wilayah geografis Malaysia. Sebagaimana diberitakan laman kompas.com, kebakaran hutan yang terjadi di sebagian wilayah Indonesia membuat negara bagian Serawak dipenuhi oleh kabut asap selama beberapa hari terakhir.
Kebakaran hutan sepertinya sudah menjadi "tradisi" tahunan yang hampir pasti terjadi setiap memasuki musim kemarau. Pembakaran lahan baru yang dilakukan secara liar ataupun karena cuaca panas menjadi pemicu munculnya kabut asap yang sangat mengganggu kesehatan.Â
Situasi ini sebenarnya tidak bisa dibanggakan sama sekali. Bukannya membagi kesejahteraan, malah berbagi masalah dengan orang lain. Polusi udara yang diakibatkan oleh kabut asap sudah sangat mengganggu kehidupan. Bukan hanya warga negara Malaysia saja, penduduk Indonesia pun juga merasakan hal serupa.
Sebenarnya, permasalahan kabut asap ini tidaklah sebatas tentang negara mana menyumbang masalah ke negara mana. Akan tetapi kabut asap adalah tentang masalah kemanusiaan. Adalah hak setiap manusia untuk merasakan hidup nyaman dan menghirup udara segar.Â
Hal ini berlaku juga bagi warga negara Malaysia sekalipun. Jangan malah kita menyungkurkan saudara-sudara kita yang menderita akibat kabut asap hanya karena kekesalan kita terhadap beberapa aspek tertentu.Â
Barangkali kita kesal dengan pernyataan Datuk Shamsubahrin, mungkin kita kecewa karena tim nasional sepakbola kita tersungkur oleh Malaysia, dan berbagai jenis kekecewaan lain. Namun semua itu bukanlah alasan yang membuat kita lantas bersikap antipati terhadap kabut asap yang "menyerbu" wilayah negeri tetangga kita tersebut. Bagaimanapun juga, kebakaran hutan yang terjadi saat ini adalah masalah kita. Hutan kita yang terbakar. Sayogyanya kita sendirilah yang semestinya menerima konsekuensi atas hal itu.
Tentunya kita tidak ingin setiap tahunnya menerima komplain atau membaca media internasional yang memberitakan kebakaran hutan Indonesia dan kabut asap yang melanda beberapa negara tetangga. Malu, itulah kata yang mesti kita camkan agar kita lebih mawas diri melihat peristiwa ini.Â
Terlebih sebentar lagi ibukota negara kita akan dipindahkan ke Pulau Kalimantan, sedangkan frekuensi kebakaran hutan sebagian besar diantaranya terjadi di wilayah-wilayah Sumatra dan Kalimantan. Lebih malu lagi tentunya saat sebuah ibukota negara ternyata justru menjadi asal-muasal masalah yang dikeluhkan juga oleh negara lain. Mau ditaruh kemana "muka" kita?