Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, menyampaikan bahwa iuran dana BPJS Kesehatan akan segera dinaikkan untuk semua kelas. Hal ini untuk menanggulangi kondisi defisit yang terus bertambah dari waktu ke waktu.Â
Selain itu, kenaikan iuran BPJS Kesehatan seakan memberi penegasan kepada kita bahwa sehat itu memang mahal. Sehingga penting bagi sekali bagi kita untuk melakukan langkah-langkah preventif terhadap kondisi kesehatan kita.
Sejak awal pertama digulirkan, program BPJS Kesehatan memang diharapkan mampu memperbaiki kualitas kesehatan masyarakat Indonesia. Namun seiring berjalannya waktu ternyata program ini berjalan tertatih-tatih, defisit anggaran menjadi problematika utama yang terus saja terjadi.Â
Besar pasak daripada tiang, besarnya biaya kesehatan yang harus di-cover tidak sebanding dengan anggaran yang tersedia. Kondisi seperti ini tentunya sangat tidak sehat bagi keberlangsungan sebuah institusi. Akibatnya, pelayanan akan mengalami banyak kendala.
Besarnya beban biaya yang mesti ditanggung oleh BPJS Kesehatan tidak bisa dipungkiri disebabkan oleh banyaknya masyarakat yang berobat di pusat layanan kesehatan menggunakan BPJS. Semakin banyak warga yang sakit, maka beban pembiayaan otomatis akan ikut meningkat.Â
Sehingga mencegah agar jumlah orang sakit seminimal mungkin merupakan salah satu jalan keluar untuk mereduksi beban pembiayaan yang harus ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Oleh karena itu, gaya hidup sehat harus digalakkan sehingga menjadi habbit diseluruh lapisan masyarakat.
Siapa sih yang ingin sakit? Sakit itu tidak enak. Orang-orang kaya ingin tetap sehat agar bisa menikmati kekayaannya. Orang-orang miskin ingin tetap sehat agar bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan untuk mencukupi kebutuhan dirinya dan juga keluarga.Â
Ketika sakit melanda tentu harapan-harapan itu akan terganggu. Mau tidak mau mereka akan berupaya untuk menyehatkan diri mereka kembali. Berobat. Memulihkan kondisi dan juga kesehatan. Sayangnya, sistem jaminan kesehatan yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan ini masih sangat mengandalkan mekanisme subsidi silang. Dengan kata lain, kondisi anggaran akan sangat bergantung dengan banyaknya orang yang sakit dengan orang yang sehat.Â
Juga tingkat penyakit yang terjadi turut berpengaruh terhadap kuantitas pendanaan yang diberikan. Semakin sedikit yang sakit, maka akan bagus untuk anggaran. Semakin sedikit yang mengidap penyakit "berat", maka akan berdampak baik terhadap kondisi anggaran. Sayangnya, menaruh harapan seperti itu sama halnya kita tidak memiliki perencanaan yang matang serta sistem kontrol yang mumpuni dalam melakukan pengelolaan BPJS Kesehatan.
Fokus yang harus dilakukan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) hendaknya tidak sebatas pada besaran iuran BPJS Kesehatan saja. Aspek kesehatan masyarakat itu tidak semata terkait uang, namun edukasi terkait pentingnya menjaga kesehatan juga perlu disosialisasikan kepada masyarakat. Ajakan untuk ikut membudayakan hidup sehat mesti dilakukan. Kesadaran untuk memperhatikan kesehatan diri harus terus diupayakan.Â
Jangan menciptakan budaya korektif, tapi ciptakan budaya preventif. Apabila orientasinya masih pada tataran korektif, maka kita hanya akan berkutat pada besarnya pembiayaan, iuran yang harus dibayarkan, atau tentang defisit anggaran. Akan tetapi ketika budaya preventif yang diutamakan, maka fokusnya adalah tentang edukasi dan perbaikan kualitas hidup masyarakat. Sampai kapan menaikkan jumlah iuran pembayaran dijadikan solusi atas permasalahan defisit anggaran kesehatan? Hal itu sepertinya belum menyentuh akar persoalan utamanya.