Beberapa hari terakhir tengah ramai diberitakan terkait sejumlah narapidana lembaga pemasyarakatan (lapas) yang mengalami masalah pergeseran orientasi seksual menyimpang.Â
Beberapa narapidana laki-laki di lapas "bergeser" orientasi seksualnya menjadi homoseksual, sedangkan beberapa narapidana perempuan menyimpang orientasi seksualnya menjadi lesbian. Hal ini tentunya mengundang keprihatinan kita bersama.Â
Terutama ketika kondisi semacam ini terjadi di sebuah negara seperti Indonesia yang tidak memiliki kompromi terhadap LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Sebuah negara dengan populasi penduduk muslim terbesar di dunia.
Populasi LGBT di Indonesia bertambah. Meski belum ada data pasti yang bisa menunjukkan kondisi itu. Namun pemberitaan terkait terjadinya penyimpangan perilaku seksual di lapas menjadi sebuah ironi tersendiri bagi Bangsa Indonesia.Â
Kondisi ini sekaligus menunjukkan kepada kita bahwa pada dasarnya LGBT itu bukan sesuatu yang ada sejak seseorang terlahir di dunia. Ia merupakan hasil bentukan lingkungan. Dalam hal ini, lapas menjadi lingkungan yang "berkontribusi" terhadap kehadiran kaum LGBT "baru".Â
Kapasitas lapas yang tidak sepadan dengan jumlah narapidana yang mengisinya ditengarai sebagai faktor utama yang "memaksa" individu-individu sesama jenis untuk berhubungan lebih intim satu sama lain.Â
Dengan adanya hasrat biologis yang tertahan sedangkan "media" penyalurannya tidak ada, maka apapun yang "memungkinkan" akan dijadikan media "pengganti".Â
Beberapa hal ini mengindikasikan bahwa peran dan fungsi lapas memang tidak berjalan secara optimal. Pembinaan kepada para penghuni lapas terjadi dengan ala kadarnya, akibatnya lapas tidak ubahnya sebatas tempat berkumpulnya pelaku kriminalitas saja.Â
Bukan lagi lembaga untuk memberikan pembinaan psikis dan juga moralitas penghuni lapas. Mereka yang keluar dari lapas bukannya membaik, malah memiliki kelainan orientasi seksual. Sungguh ironis.
Jika memang kita semua peduli, khususnya pihak-pihak terkait, dengan kondisi narapidana akan status orientasi seksualitas mereka maka hal ini tentu membutuhkan penanganan sesegera mungkin.Â
Pemerintah dengan segenap jajarannnya akan dicap sebagai orang-orang yang bertanggung jawab "menciptakan" LGBT baru di Indonesia apabila mengabaikan situasi dan kondisi lapas yang terus-menerus terjadi seperti sekarang.