Allah SWT memberikan dua kenikmatan bagi hamba-Nya yang berpuasa. Pertama, saat berbuka puasa. Kedua, saat di akhirak kelak ia akan menerima ganjaran yang sepadan dengan amal ibadah puasanya itu.Â
Nikmatnya hidangan itu akan benar-benar terasa justru disaat kita lapar. Sehingga kehadiran ibadah puasa akan memberikan kenikmatan tersendiri bagi kita saat tiba waktunya berbuka.Â
Lauk sederhana, makanan yang biasa-biasa saja sakan terasa begitu nikmat selama kita mau bersyukur atas apa yang kita miliki. Mengharapkan yang belum ada, boleh. Tapi jangan mengingkari pemberian Allah SWT yang saat ini kita miliki. Bersyukurlah, maka nikmat Allah SWT akan bertambah.
Mengistimewakan bulan suci Ramadan sebenarnya bukan dengan "memperbaiki" menu hidangan. Namun lebih kepada bagaimana kita memperbaiki kualitas ibadah kita. Termasuk di antaranya dengan bersyukur terhadap apa yang sudah kita miliki.Â
Apakah ini berarti kita tidak perlu menikmati hidangan mewah? Tidak juga. Selama hal itu masih dalam batas kemampuan kita, wajar, dan tidak berlebihan maka berbuka dengan makanan yang mewah diperbolehkan.Â
Bukan makanannya yang salah, tetapi attitude kita kepada Allah SWT-lah yang mesti kita perhatikan. Berlebih-lebihan bukanlah salah satu perilaku yang dicontohkan kepada seorang muslim.Â
Terlebih di tengah momentum bulan suci Ramadan ini di mana kualitas ibadah kita semestinya mengalami peningkatan yang signifikan, bukan justru sebaliknya.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H