Aksi pergerakan mahasiswa tahun 1998 yang berujung pada runtuhnya orde baru dan lahirnya era reformasi merupakan salah satu tonggak penting sejarah Indonesia, khususnya sejarah pergerakan mahasiswa selaku "aktor" utama kala itu. Seruan aksi yang digemakan oleh para mahasiswa dari segenap penjuru tanah air terbukti ampuh mengubah tata pola peradaban Bangsa Indonesia saat ini.Â
Aksi pergerakan mahasiswa pada saat itu barangkali masih akan terus diingat oleh masyarakat kita yang menjadi saksi dan hidup hingga saat ini. Bahkan tidak menutup kemungkinan setiap kampus di seluruh tanah air masih terus menyampaikan kepada para mahasiswa barunya tentang besarnya peranan mereka menciptakan perubahan di bangsa ini.
Selama masa-masa pergerakan di tahun 1998 waktu itu, ada satu lagu yang begitu populer dinyanyikan dan diteriakkan para aktivis mahasiswa. Totalitas perjuangan. Lirik yang ada pada lagu itu seakan ingin memberikan penegasan bahwa bangsa ini begitu dicintai oleh rakyatnya. Semua ikut berseru ketika bangsa ini ditimpa masalah, semua beraksi tatkala bangsa ini terancam. Seakan semua masyarakat kita ingin berkata bahwa Indonesia adalah milik kita semua, bukan milik segelintir orang yang duduk nyaman di gedung pemerintahan sana. Aksi 1998 adalah aksi kecintaan terhadap bumi pertiwi.
Setelah 21 tahun berlalu apakah semangat yang sama masih dimiliki oleh generasi saat ini? Masihkah ada mahasiswa yang berani bersuara lantang seperti di tahun 1998 ataukah justru generasi saat ini telah kehilangan daya juangnya. Datang ke kampus sebatas mengikuti perkuliahan, aktif bergorganisasi, ikut berkompetisi, tapi kering nyali untuk menyuarakan hati nurani. Kalau boleh jujur, hampir tidak pernah terlihat aksi pergerakan mahasiswa yang menyuarakan jeritan hati rakyat.Â
Apakah memang bangsa ini sudah benar-benar baik? Apakah memang rakyat Indonesia sudah merasakan adil dan makmur? Apakah cita-cita 1998 benar-benar telah terlaksana? Secara pribadi, penulis memang tidak bisa membeberkan satu persatu pencapaian dari semua harapan itu. Namun jika melihat situasi yang berkembang sampai saat ini, cita-cita perjuangan aktivis '98 belum sepenuhnya tercapai. Masih ada kegelisahan melihat realitas yang dialami bangsa ini. Terlebih setelah sekian lama bangsa kita yang "terbelah" menjadi dua kubu besar.Â
Reformasi diperjuangkan dengan nyawa, namun bukan berarti hal itu menjadikan segelintir orang lantas diizinkan untuk gaduh dan berebut kekuasaan. Banyak yang berebut menjadi pemimpin hingga "memainkan" cara-cara yang tidak sportif. Pada akhirnya nasib rakyatlah yang dikorbankan. Kegaduhan yang tidak kunjung selesai adalah bentuk pencederaan semangat berbangsa yang semestinya dijunjung tinggi. Sebagian dari pemimpin bangsa kita saat ini barangkali dulu juga ikut terlibat sebagai pelaku sejarah pergerakan 1998. Mereka tentu memiliki pemahaman utuh tentang makna dari pergerakan besar waktu itu.Â
Seharusnya mereka menjadi contoh panutan betapa kesatupaduan itu diperlukan. Dahulu para mahasiswa bersatu, rakyat bersatu, dan sebagian tokoh bangsa juga bersatu demi menggulingkan sebuah rezim dan untuk mewujudkan cita-cita yang sama. Ketika kini semua tinggal memetik buah dari perjuangan masa lalu, mengapa masih ada begitu banyak konflik sesama anak bangsa yang terjadi? Jangan-jangan kita hanya berlaku egois ingin memetik buah totalitas perjuangan masa lalu daripada mengutamakan kepentingan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Ketika totalitas perjuangan digaungkan dan mampu menggulingkan sebuah rezim, maka tidak bisakah cara yang sama digunakan untuk memperingatkan para petinggi negeri ini agar selaras dan sepaham membangun bangsa tanpa harus saling tuding dan fitnah. Sangat miris sekali menyaksikan pemberitaan ketika ada warga negara yang mengancam membunuh presidennya. Sudah separah itukah bangsa kita saat ini sampai seorang kepala negara harus diperlakukan seperti itu? Sebagian tokoh menyerukan aksi people power karena anggapan satu dan lain hal.Â
Pantaskah aksi ini diganungkan kembali? Benarkan Indonesia tengah menuju kondisi yang sama dengan tahun 1998? Totalitas perjuangan kita bukan dilakukan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu saja. Akan tetapi untuk bangsa Indonesia secara keseluruhan. Alangkah baiknya apabila kita membahas semuanya dengan hati lapang dan meninggalkan jauh egoisme kelompok. Apabila mendiang Presiden Soeharto saja dengan jantan mengundurkan diri dari jabatannya demi menciptakan stabilitas, maka apakah para elit bangsa kita sekarang memiliki semangat dan kesadaran serupa?
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H