Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Kematian pun Berbayar

13 April 2019   11:54 Diperbarui: 13 April 2019   13:20 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tinggal dan hidup di kota-kota besar harus diakui membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kebutuhan untuk makan dan tempat tinggal saja menelan biaya besar. Belum lagi untuk kebutuhan lain seperti transpotasi hingga untuk bersih diri semuanya membutuhkan banyak biaya. 

Namun ternyata "nestapa" hidup di kota besar tidak hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidup saja, mati pun juga harus membayar. Membeli sepetak tanah untuk pemakaman pribadi adalah keharusan bagi siapapun yang hendak menuju kehidupan berikutnya. 

Bagi kalangan elit atau dari keluarga kaya raya, tidak jadi soal kalaupun harus membeli sepetak tanah. Mereka bahkan rela untuk membeli tanah nan luas demi memberikan "kontruksi" pemakaman mewah bagi keluarganya. Sesuatu hal yang di era modern ini sudah jamak ditemui. 

Lain halnya bagi masyarakat kelas bawah. "Beban hidup" saja sudah begitu berat untuk mereka tanggung, lantas apa yang terjadi jikalau ditambahkan "beban mati"?

Di beberapa negara maju seperti Korea Selatan atau Amerika Serikat sering dikatakan sebagai negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia. Deperesi, frustasi, dan sebagainya adalah alasan lumrah yang mendasari mereka bunuh diri. 

Golden Gate merupakan tempat "favorit" warga Amerika Serika untuk mengakhiri hidupnya. Bahkan sebagian orang sampai mempertontonkan secara live aksi bunuh dirinya melalui media sosial facebook. Semua itu dilakukan karena mereka beranggapan tekanan hidup begitu berat mereka rasakan. 

Satu dari sekian tekanan hidup yang mendasari seseorang untuk mengakhiri hidup adalah tekanan ekonomi. Bayangkan, orang-orang dengan perasaan tertekan pada dirinya karena menghadapi kesulitan ekonomi dihadapkan pada kenyataan lain bahwa mereka untuk mati pun juga harus membayar. 

Mungkin mereka akan semakin "bingung" untuk memilih antara hidup atau mati. Hidup harus membayar, mati juga harus membayar. Meskipun sebenarnya yang membayar segala kebutuhan orang meninggal adalah sanak keluarga yang masih hidup, tetap saja hal ini terlihat sedikit "aneh". 

Dengan semuanya menjadi serba uang dan uang, dari sejak seorang anak manusia tercipta didalam rahim sang ibu hingga mereka dikebumikan di liang lahat tidak satupun yang terlewat untuk dibayar. 

Bagaimana seandainya hal ini terjadi semakin luas merambah ke daerah-daerah? Apakah setiap orang sampai harus "menabung" sebelum ia meninggal dunia? Menabung atau berinvestasi bagi setiap orang adalah keharusan, dalam artian menabung atau berinvestasi untuk kehidupan pasca kematian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun