Menjadi "anak baru" dikancah perpolitikan tanah air menyimpan dua kemungkinan penilaian. Keraguan dan pemberi harapan baru. Bagaimanapun juga, sebagai sosok yang terbilang "hijau" di ranah politik dengan segala dinamika yang menghiasinya, kemampuan politikus muda  mungkin dianggap masih "bau kencur" dan tidak cukup tahu perihal situasi serta kondisi bangsa.Â
Keraguan ini bisa jadi dirasakan oleh sebagian masyarakat kita selaku penentu pilihan yang menganggap caleg milenial sebagai orang-orang yang masih miskin pengalaman. Meyakinkan masyarakat bahwa kehadiran caleg milenial merupakan harapan baru bagi mereka tentu bukan tugas yang mudah. Terlebih untuk memikat hati rakyat yang terdiri dari berbagai latar belakang, beragam tingkatan usia, dan situasi hidup masyarakat yang jauh berbeda dibandingkan beberapa tahun lalu.
Dibutuhkan kreativitas dan pendekatan yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Diperlukan cara komunikasi yang lebih efektif dari sebelumnya. Terhadap semua situasi ini sebenarnya caleg milenial memiliki amunisi yang lebih lengkap dibandingkan para pendahulunya.
Akses teknologi yang lebih up to date, pemahaman terhadap tren zaman yang lebih baik, dan jumlah individu satu generasi (generasi milenial) yang realtif unggul. Mungkin kelemahan yang dimiliki oleh caleg melenial ini selain anggapan bahwa mereka masih awam terhadap situasi politik bangsa adalah terkait branding masing-masing personal. Meski mungkin branding ini bisa dibilang tidak terlalu menjadi masalah bagi mereka dengan latar belakang selebriti.
Meskipun begitu, semua kelemahan itu sebenarnya bisa ditanggulangi dengan berkampanye secara kreatif. Kreativitas adalah senjata utama generasi milenial untuk membuktikan kepada masyarakat luas bahwa mereka adalah individu-individu dengan segudang potensi.
Dalam beberapa kali periode pemilihan umum anggota legislatif (pileg), metode atau cara-cara yang dipakai untuk berkampanye sangatlah konvensional dan mudah ditebak. Visi-misi yang diusung pun sangat jarang disampaikan oleh para calon legislatif kepada masyarakat pemilihnya. Baliho dengan foto calon, nomor urut, partai yang diusung, dan sepenggal kalimat singkat sebagai pelengkap.
Bagaimana mungkin kompetensi seorang wakil rakyat bisa dinilai hanya berdasar pada baliho singkat itu saja? Bahkan yang miris dan masih seringkali terjadi adalah beberapa calon tertentu melakukan "aksi senyap" membagi-bagikan sejumlah uang kepada masyarakat agar mereka dipilih sebagai wakil rakyat. Sungguh sebuah tindakan yang tidak patut untuk dibanggakan.
Stigma negatif tersebut bisa jadi akan disematkan kepada caleg milenial karena anggapan "Mereka bisa apa, sih?". Value seorang caleg sangat jarang dipandang tinggi, terlebih bagi mereka yang belum memiliki rekam jejak politik untuk dibanggakan. Melakukan branding diri adalah sebuah keharusan bagi seorang tokoh publik yang mengemban amanah rakyat. Mereka harus dikenal dulu, dikenal sebagai sosok yang positif tentunya. Positif dalam gagasan, pemikiran, kepribadian, dan tentunya positif dalam tindakan.Â
Caleg milenial harus memiliki gagasan yang sepadan dengan perkembangan zaman. Jangan mengusung ide yang kolot, kuno, dan basi. Memberikan edukasi yang baik kepada masyarakat dalam berpolitik adalah cara lain yang seharusnya ditempuh.
Terbawa arus politisi senior dalam mengarungi percaturan politik tanah air sama halnya dengan menghilangkan identitas sebagai kaum milenial. Pemikiran yang diusung oleh caleg milenial haruslah pemikiran yang berorientasi masa depan. Memunculkan konsep-konsep baru nan segar.
Bagaimanapun juga, problematika masyarakat pada setiap era tidaklah sama. Memerlukan cara berfikir dan penyelesaian yang sepadan dengan perkembangan zaman. Hanya saja hal ini membutuhkan kreativitas dan kejelian memandang segala sesuatu.