Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Vocabulary" Pengetahuan untuk Kebijaksanaan Sikap

28 Februari 2019   12:37 Diperbarui: 28 Februari 2019   13:04 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stand up comedy adalah sebuah profesi yang menuntut pelakunya memiliki banyak pengetahuan sekaligus kepekaan memandang lingkungan sekitar (Sumber gambar: revistasenal.com)

Seorang manusia yang berilmu akan menjadi pribadi yang bijaksana dalam menyikapi dan memandang segala sesuatu. Semakin berisi tanaman padi, maka ia akan semakin menunduk. Seiring dengan terus bertambahnya pengetahuan didalam diri seseorang, maka hal itu akan meningkatkan kualitas diri dan juga menjadikan pemiliknya semakin rendah hati. Apabila keilmuan seseorang yang terus bertambah tidak dibarengi dengan peningkatan kebijaksanaan, maka itu sama halnya ilmunya tidak bermanfaat. Dengan kata lain, keberkahan atas ilmu tersebut tidak ada. Sehingga para pembelajar yang senantiasa mendambakan ilmunya terus bertambah dari waktu ke waktu juga harus bisa menilai apakah dirinya menjadi lebih bijaksana atau justru sebaliknya.

Memiliki pengetahuan saja tidaklah cukup untuk menjadikan diri kita bijaksana. Terkadang pengetahuan yang kita miliki membuat kita lupa diri dan mengabaikan hal-hal penting yang semestinya dihindari. Jangan hanya karena merasa sudah cukup banyak tahu atas suatu bidang, lantas kita bersikap layaknya seorang pakar. Barangkali hal inilah yang saat ini tengah marak terjadi di masyarakat kita. 

Seseorang yang baru belajar agama, atau sedikit tahu agama dari belajar autodidak di internet sudah berani menjustifikasi orang lain bahwa mereka sesat, bahwa mereka salah, dan lain sebagainya. Ketika ada salah seorang cendekiawan yang mengutarakan pandangan atau pendapatnya tentang sosok pemimpin, ada saja yang mencelanya dengan anggapan sebagai penghianat agama atau sejenisnya. Ironisnya, penilaian itu semata hanya berdasar pengetahuan dangkal yang mereka miliki. 

Sungguh berbahaya ketika ada seseorang mempelajari pengetahuan tanpa paham seluk beluk yang mendasarinya, filosofi yang ada dibalik pengetahuan itu, dan segala hal yang terkait dengannya. Banyak sekali pengetahuan yang harus ditelaah lebih jauh dengan mempertimbangkan sumber-sumber lain. Jangan sampai memahami pengetahuan seenak udel-nya sendiri. Ujung-ujungnya hal ini akan membuat kita terlihat bodoh dimata orang lain.

Memahami suatu pengetahuan dapat digambarkan seperti seseorang yang tengah mempelajari bahasa baru. Kunci utama agar bisa berbicara suatu bahasa tertentu adalah dengan memperbanyak perbendaharaan kosakata (vocabulary). Semakin banyak kosa kata yang dikuasai, maka mengutarakan keinginan menjadi lebih mudah. Maksud yang ingin kita sampaikan akan menjadi lebih jelas dan bisa dimengerti orang lain. Kalau masih hanya beberapa patah kata saja yang kita ketahui maka tentu saja kita akan menjumpai kesulitan untuk menyampaikan apa yang kita mau. 

Apabila keterbatasan ini tetap dipaksakan, maka berisiko memunculkan miskomunikasi dan salah paham. Jika topik yang disampaikan adalah hal yang sederhana maka mungkin tidak akan terlalu menjadi soal. Lain halnya apabila yang dibahas adalah sesuatu yang kompleks. Risiko yang dihasilkan juga akan semakin besar. Sama halnya dengan seseorang yang sudah merasa pengetahuannya banyak padahal hal itu sebenarnya masih belum mencukupi untuk menjadikan dirinya sosok yang mampu menyampaikan pemahaman benar kepada orang lain. Semestinya kita memperbanyak "kosapengetahuan" lebih banyak lagi. 

Apabila dalam melatih bahasa itu kita harus sesering mungkin berkata-kata atau berbicara dengan kosakata yang kita kuasai, maka dalam menebarkan informasi atau argumentasi sebaiknya kita lebih berhati-hati. Kita harus lebih mampu menahan diri untuk memilih dan memilah apakah pengetahuan yang kita miliki saat ini sudah cukup tepat untuk mengomentari atau mengkritisi sesuatu hal. Oleh karena itulah seorang bijak biasanya lebih mampu menahan diri dari banyak bicara, karena ia memahami betul bahwa kebijaksanaan seseorang itu bukan diperoleh dari banyaknya pembicaraan.

Kita diciptakan dengan satu mulut, dua mata, dan dua telinga agar kita lebih banyak belajar dari penglihatan dan juga pendengaran kita daripada banyak berbicara. Kita tidak tahu apakah opini yang kita sampaikan, tulisan yang kita buat, dan kata-kata yang terucap dari mulut kita ini dapat menyakiti hati orang lain atau tidak. Kita harus lebih bijaksana dalam menyampaikan pandangan kita terhadap  suatu peristiwa yang hangat diperbincangkan masyarakat. 

Mungkin apa yang kita sampaikan bisa menjadi pemantik permsalahan, siapa yang tahu? Barangkali kata-kata kita justru semakin memperkeruh suasana, siapa yang tahu? Mengomentari setiap peristiwa di satu sisi mungkin memiliki manfaat, namun kita tidak boleh lupa bahwa potensi negatif yang ditimbulkannya juga perlu diperhitungkan. Di sinilah pentingnya menuntut ilmu sebanyak mungkin. Terus dan terus menambah pengetahuan, wawasan, dan khasanah baru. Hikmah dibalik keharusan kita menuntut ilmu sedari lahir hingga ke liang lahat adalah agar supaya kita mampu bersikap layaknya padi yang semakin menunduk atas kebijaksaan dirinya.

Salam hangat,

Agil S Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun