Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Antara "UYM" dan Zaky "Bukalapak", Sebuah Fenomena Pudarnya Slogan "Berbeda Itu Indah"

16 Februari 2019   12:24 Diperbarui: 16 Februari 2019   13:16 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : detik.net.id

Beberapa waktu terakhir ini media sosial tengah hangat memperbincangkan status "presiden baru" yang dicuitkan oleh CEO Bukalapak, Achmad Zaky. Meski dari status yang ditulisnya itu sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menonjolkan salah satu calon tertentu, tapi istilah "presiden baru" sudah terlanjur dipahami sebagai bentuk dukungan kepada pihak oposisi yang menjadi lawan tanding kandidat petahana saat ini.

Cuitan yang dimaksudkan sebagai harapan agar anggaran R&D Indonesia dinaikkan itu telah dipahami sebagai sikap politis dari salah seorang yang berperan besar dalam perkembangan start up teknologi di tanah air itu. Terlepas ini adalah sebuah sikap politis dari founder Bukalapak atau sebenarnya hanya imajinasi dari para pendukung militan salah satu calon, satu realitas yang harus kita sadari bersama bahwa kini kita tengah berada dalam masa-masa penuh sensitivitas.

Hal-hal sepele bisa menjadi besar hanya apabila terkoneksi dengan preferensi memilih. Padahal seharusnya berbeda pendapat itu biasa, berpihak pada salah satu kandidat juga wajar, dan berbeda pandangan pun sah-sah saja. "Berbeda itu indah", demikian mungkin slogan-slogan yang sering diusung dalam rangka menjunjung tinggi toleransi serta menghargai semangat perbedaan. Bahkan Bhineka Tunggal Ika adalah salah satu pilar bangsa yang semestinya dihargai dan dijunjung tinggi seluruh elemen masyarakat. Namun slogan itu kini seolah telah kehilangan ruhnya.Sebelum cuitan Zaky mencuat, banyak netizen yang dengan pongah mem-bully seorang Ustadz hanya karena beliau memiliki pandangan dan keberpihakan politik berbeda. Apabila Achmad Zaky dianggap "memihak" pasangan calon 02 dengan status "presiden baru"-nya, Ustadz Yusuf Mansur (UYM) dinihilkan ke-ustadz-annya karena memiliki kecenderungan membela pasangan calon 01.

Sebutan Ustadz Kecebong mungkin adalah puncak dari kekasaran netizen dalam berkata-kata terhadap sosok publik figur yang berseberangan pendapat dengan mereka. Begitu mudahnya kita sekarang berkata kasar, mem-bully, menghina, mencaci, dan mempersalahkan orang lain hanya karena mereka berbeda pandangan dengan kita.

Sebagai pribadi, saya bukanlah orang yang memiliki kecenderungan untuk memihak salah satu pihak yang kini tengah gencar berkompetisi menuju kursi nomor satu NKRI. Namun sebagai pribadi saya sangat tidak sepakat dengan para netizen yang dengan begitu mudahnya mencela UYM. Bagi saya pribadi, beliau adalah guru spiritual yang baik. Mungkin beliau memiliki keyakinan dan pandangan politiknya sendiri, demikian halnya dengan saya dan Anda semua. Permasalahannya bukan apakah kita berbeda pilihan atau tidak, tapi seberapa mampu kita menyikapi perbedaan tersebutlah yang lebih penting.

Sumber gambar : www.porindo.com
Sumber gambar : www.porindo.com
Merupakan sebuah preseden buruk dalam demokrasi ketika orang-orang yang berbeda pilihan dengan kita seolah menjadi musuh yang harus dijauhi. Namun inilah realitas yang saat ini tengah mengemuka. Seakan kita adalah yang paling benar sedangkan kubu lawan adalah pihak yang salah, dan begitupun sebaliknya.

Kita saling menganggap orang lain salah, dan menilai diri kita paling benar. Disinilah sebenarnya masalah kita. Merasa diri kita, komunitas kita, kubu kita, adalah yang paling benar. Semua tentang kita adalah benar, dan semua tentang mereka adalah salah. Titik. Entah apa sebenarnya yang terjadi dengan kerpibadian bangsa kita sekarang ini. Kedewasaan kita dalam menyikapi perbedaan seperti hilang tak berbekas. Kita seperti menjadi sekumpulan anak ingusan dengan ego yang tinggi berbekal pemahaman bahwa kebenaran mutlak hanya ada pada diri kita saja.

UYM dan Zaky mungkin tidak sepenuhnya tepat dalam menunjukkan sikapnya ditengah-tengah panasnya persaingan masing-masing kubu. Namun apakah kita ingin menjadi bensin yang menyulut kobaran api ataukah air yang menyiramkan kesejukan? Disinilah kepribadian kita ditampilkan. Jangan menjadi pribadi yang gampang "panas", cepat tersinggung, dan mudah menghakimi orang lain. Mari kita semua guyub serta rukun dalam bersikap dan menghargai perbedaan pendapat.

Politikmu adalah politikmu, politikku adalah politikku. Pilihanmu adalah hakmu, dan pilihanku adalah hakku. Pelangi menjadi indah karena ia terdiri atas lebih dari satu warna yang berbeda-beda. Demikian juga dengan kehidupan kita dalam masyarakat, baik itu masyarakat "dunia nyata" yang ada di lingkungan sekitar kita maupun masyarakat "dunia maya" yang menghubungkan kita dengan orang-orang dari berbagai pelosok. Mari tebarkan semangat menghargai orang lain yang ada di sekitar kita.

Salam hangat,

Agil S Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun