Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lepaskan Topeng Kepalsuan Dirimu!

28 Januari 2019   08:59 Diperbarui: 29 Januari 2019   11:34 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar : grahafilsafat.wordpress.com

Ketika sebuah ambisi sudah merasuk kedalam dada, terkadang kita berupaya untuk menampilkan diri kita sebagai sosok yang lain. Menunjukkan pribadi yang berbeda kepada orang lain dengan maksud untuk menciptakan kesan tertentu. 

Seseorang yang setiap harinya mungkin memiliki pola hidup yang "berantakan", cuek, acuh tak acuh, dan mungkin sedikit menjauh dari hingar bingar pergaulan bisa menampilkan sisi yang berbeda tatkala ia sedang kasmaran. Ambisinya akan rasa cinta akan mendorongnya untuk mengkreasi tampilan dirinya yang baru dengan harapan hal itu akan menghadirkan simpati dari sang tambatan hati. 

Seorang politisi ketika memasuki masa-masa menjelang pemilihan umum seringkali juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Ambisi mereka untuk duduk di kursi bergengsi pejabat publik secara naluriah mendorong mereka untuk menampilkan sesuatu yang baik di mata khalayak. 

Mereka ingin membangun persepsi positif dihadapan para pemilih. Mereka yang sebelumnya enggan untuk terjun langsung ke masyarakat, kini intensitas perjumpaan dengan masyarakatnya justru meningkat berkali-kali lipat. Mereka yang sebelumnya "malas" hadir dalam tugas, menjadi begitu lugas dalam meneriakkan derita rakyat. Sungguh perubahan yang luar biasa.

Apakah bisa dikatakan bahwa kecenderungan berbeda sikap ini merupakan wujud dari perubahan? Mungkin lebih tepat jika kita menyebutnya  "memasang topeng".  Sikap yang dulunya biasa-biasa saja namun pada suatu ketika mengalami perubahan sangat drastis akan menimbulkan banyak sekali pertanyaan. 

Mengapa yang biasanya "seperti ini" seketika berubah menjadi "seperti itu"? Ada apa ini? Mungkin pertanyaan seperti itulah yang muncul di benak kita tatkala menjumpai situasi serupa. Seorang teman yang biasanya tidak pernah membangun komunikasi secara tiba-tiba melakukan kontak dan membangun obrolan yang langsung terkesan mengakrabkan diri, tapi setelah itu ternyata diketahui bahwa ia memiliki kepentingan untuk menawarkan sebuah produk atau sekadar meminjam uang. Banyak diantara kita yang dengan sengaja memasang topeng untuk  memancing simpati orang lain. 

Menjadi pribadi yang berbeda dari tampilan asli mungkin sah-sah saja dilakukan oleh siapapun. Akan tetapi hal itu akan menghilangkan jati diri kita yang sebenarnya. Hal itu akan menyamarkan wujud sejati kita sebagai pribadi. Di kemudian hari, tindakan ini mungkin akan menjadi bumerang bagi diri kita sendiri. 

Selayaknya seorang calon karyawan yang melakukan wawancara kerja. Ketika diberikan beberapa pertanyaan yang sebenarnya tidak sesuai dengan minatnya, kepribadiannya, dan dorongan hatinya, namun ia justru mengiyakan semua pertanyaan itu untuk dengan harapan akan terbangun penilaian bahwa dirinya adalah pribadi dengan kriteria yang dibutuhkan oleh si pewawancara. 

Akibatnya, dikemudian hari ia merasakan ketidaknyamanan dalam bekerja, ada rasa terkekang disalah satu bagian dari dirinya. Ia memalsukan kenyataan bahwa dirinya merupakan sosok yang berbeda dengan apa yang disampaikannya pada saat wawancara. Topeng yang ia pasang demi melancarkan ambisi memperoleh pekerjaan telah "memenjarakan" dirinya sendiri.  

Berapa kali kita menyadari kenyataan dari para calon pemimpin yang pada saat berkampanye menampilkan kata-kata memikat, pribadi yang mempesona, dan sikap-sikap yang terlihat berwibawa? Namun ketika mereka sudah menggapai ambisi mereka justru kekecewaanlah yang kita rasakan sebagai pemilih? 

Topeng yang mereka pasang pada periode masa kampanye adalah upaya mereka untuk menarik simpati. Topeng itu terlepas dengan sendirinya ketika ambisi sudah tercapai. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun