Pengendalian diri. Mungkin merupakan sebuah istilah yang sering kita dengar. Bahkan mungkin sejak duduk di Sekolah Dasar pun kita pernah mendapatkan pengajaran terkait pengedalian diri. Kita harus mampu mengendalikan diri dalam menghadapi segala kemungkinan baik dan segala kemungkinan buruk. Pengendalian diri adalah wujud kemampuan seseorang untuk memegang kuasa terhadap tindakan dirinya.Â
Sebagian orang cukup mampu untuk mengatur tindakannya, namun sebagian yang lain ada yang lepas kendali. Perbedaannya, seseorang dengan kemampuan pengendalian diri yang lebih baik ternyata memiliki kemungkinan hidup lebih sukses dibanding mereka yang sering lepas kendali.
Sebuah penelitian yang dikenal dengan Uji Marshmello merupakan salah satu percobaan paling terkenal yang ditujukan untuk mengukur tingkat pengendalian diri seseorang. Pada Uji Marshmellow ini sekumpulan anak-anak diberikan sajian marshmellow di suatu ruangan. Kemudian salah seorang peneliti berpesan kepada sekumpulan anak-anak itu bahwa siapapun yang bersedia menunda menyantap marshmellow sampai dengan kembalinya si peneliti, maka ia akan mendapatkan jatah tambahan.Â
Sedangkan yang tidak bersedia menunggu si peneliti, maka mereka akan mendapatkan marsmellow sejumlah yang disajikan saja. Pada percobaan tersebut ada sebagian anak yang tak kuasa untuk langsung menyantap marshmellow, sebagian ada yang menunggu dulu beberapa waktu sebelum kemudian ikut menyantapnya juga, dan sisanya mampu menahan diri menyantap marshmellow sampai dengan kembalinya si peneliti.
Beberapa tahun kemudian setelah dilakukan pemeriksaan terhadap anak-anak yang mengikuti Uji Marshmellow tersebut diketahui bahwa sebagian anak yang mampu menahan dirinya untuk menyantap marshmellow sampai kembalinya si peneliti ternyata memiliki nilai akademis yang lebih baik. Bahkan uji terhadap kemampuan kendali diri ini dianggap lebih baik dalam memprediksi kesuksesan seseorang dibandingkan tes IQ. Pertanyaannya, apakah kemampuan kendali diri  ini merupakan bakat bawaan sejak lahir?
Keterampilan emosi atau kecerdasan emosi pada dasarnya bisa dilatih. Demikian yang disampaikan oleh Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intellegence. Dan saat paling tepat untuk memberikan pelatihan emosi ini adalah pada periode usia 1-4 tahun. Pada periode waktu tersebut otak bawah sadar masih dalam tahap awal perkembangan.Â
Periode emas untuk membentuk pola pikir dan kecerdasan emosi sesorang. Â Inilah periode terbaik bagi kita untuk membentuk kepribadian anak-anak yang tangkas secara emosi.
Lalu bagaimana dengan mereka yang sudah memasuki usia remaja? Bagaimana dengan kita yang sudah beranjak dewasa? Apakah sudah terlambat untuk membangun sistem kecerdasan emosi yang baik? Pada prinsipnya tidak ada kata terlambat. Masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri dan berubah menjadi manusia yang lebih baik.Â
Dalam hal ini, kemampuan pengendalian diri merupakan salah satu bentuk kecerdasan emosi yang memiliki peranan cukup penting dalam menunjang kesuksesan hidup seseorang. Kita yang sudah tidak akan bisa lagi mengulang periode emas usia 1-4 tahun harus berbuat apa agar kemampuan pengendalian diri kita bisa diperbaiki?Â
Prinsip utama membentuk pola pikir alam bawah sadar adalah dengan pengulangan. Sehingga kita pun harus mengulang-ulang tindakan yang dapat melatih "otot" kendali diri kita. Sebagaimana halnya kekuatan tekad yang telah diuraikan pada tulisan saya yang lain, kemampuan kendali diri pun bisa terbentuk semakin kuat seiring pelatihan yang diberikan kepadanya secara terus menerus. Jika kemampuan tekad dilatih salah satunya melalui Sholat Tahajjud, lalu bagaimana dengan kemampuan kendali diri?Â
Kemampuan pengendalian diri pada dasarnya bisa dilatih melalui prosesi ibadah puasa. Puasa wajib di Bulan suci Ramadhan, ataupun dengan puasa-puasa sunnah seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud, dan lain-lain. Bukankah syarat puasa adalah menahan diri dari lapar dan dahaga? Menahan emosi? Menahan nafsu? Apabila hal ini dibiasakan secara rutin, maka "otot" kendali diri akan lebih kuat terbangun di dalam diri kita.Â