Di wilayah pedesaan, dahulu sebagian dari generasi mudanya mengikuti pendidikan Agama Islam di musholla-musholla. Belajar membaca Al-Qur’an, belajar kitab, belajar tata cara melaksanakan Sholat, dan belajar membaca doa-doa yang lain. Mereka masih belajar dalam kederhaan musholla, tanpa kurikulum, dan tanpa iuran pendidikan. Dengan diajari oleh seorang ustadz atau lebih biasa disebut Pak Kyai, yang dalam mengajarkan ilmunya tidak mendapatkan nayaran sepeserpun dari orang tua santri-satrinya atau bahkan dari pemerintah. Semua murni karena wujud pengabdian seorang guru ngaji dan niatan yang ikhlas dalam mengajar para santrinya karena Allah SWT. Tanpa motivasi terselubung.
Apabila dibandingkan antara generasi muda Islam beberapa tahun lalu yang tinggal di pedesaan dengan para generasi muda yang tinggal di perkotaan, kemampuan dalam membaca Al-Qur’an bisa jadi masih lebih baik mereka yang tinggal di desa. Hal ini karena pada masa itu anak-anak kecil dan para remaja begitu antusias untuk belajar mengaji di musholla. Para orang tua juga mengarahkan putra-putrinya untuk belajar mengaji disana. Sehingga yang tampak pada waktu itu musholla merupakan salah satu sentra pendidikan yang penting di pedesaan. Musholla menjadi bagian penting masyarakat pedesaan dalam mengajarkan dan menyebarluaskan ilmu serta nilai-nilai keislaman kepada para generasi penerus.
Para santri yang masih kecil diajarkan membaca Al-Qur’an oleh santri yang lebih senior dan sudah lancar dalam membaca Al-Qur’an. Para santri senior nantinya juga akan diajari langsung oleh Pak Kyai dalam membaca Al-Qur’an, ataupun mengaji kitab. Suasana musholla terasa begitu semarak ketika setiap ba’da maghrib ramai dengan para santri yang nderes membaca Al-Qur’an dan yang sedang belajar kepada santri yang lainnya. Penuh dengan keakraban dan kehangatan.
Musholla yang dulu terasa begitu memberikan sumbangsih besar dalam pendidikan keagamaan bagi masyarakat desa, saat ini seolah semakin menurun pamornya. Minat-minat para generasi muda semakin berkurang dan malas untuk datang dan belajar mengaji di musholla. Para remajanya banyak yang tidak lagi tertarik untuk datang ke musholla untuk belajar ke Pak Kyai serta mengajarkan adik-adik santri yang lain. Pesona musholla seiring waktu semakin memudar. Para generasi muda di pedesaan kini sudah terbawa arus budaya modern. Mereka meninggalkan nilai-nilai kesederhanaan mereka dan terjun dalam kegiatan-kegiatan yang tidak memberikan nilai manfaat. Jika dahulu para remaja desa setelah pulang kerja sore hari datang ke musholla untuk melaksanakan sholat berjamaah dan mengikuti aktivitas mengaji, kini mereka lebih banyak hidup dalam hiburan malam. Nongkrong di warung kopi, menonton orkes dangdut, main biliard, main kartu dan melakukan tindakan urakan di lingkungan masyarakat. Anak-anak kecil lebih suka berdiam diri dirumah untuk menonton film kartun daripada berangkat ke musholla untuk mengaji. Musholla semakin ditinggalkan.
Perubahan kondisi sosial masyarakat dan minimnya perhatian pemerintah pada pengelolaan mushollah memiliki andil besar terkait hal ini. Para generasi muda sekarang sudah dengan begitu mudahnya mengakses “dunia luar” dan tanpa ada filter yang memadai dari para orang tua dan keluarga. Selain itu, tontotan dari acara televisi seperti sinetron-sinetron yang lebih banyak unsur negatifnya daripada manfaatnya. Semua itu menjadi kontaminan terhadap para generasi muda yang ada di pedesaan sehingga mereka semakin menjauhi nilai-nilai kesederhanaan dan kearifan lokal. Mereka merasa mau kaau disebut wong ndeso, dan lebih memilih untuk mengikuti gaya-gaya hidup modern yang sebenarnya tidak banyak memberikan nilai manfaat dalam hidup mereka. Hanya sekedar tampilan yang mengejar gengsi saja.
Perhatian pemerintah terhadap peranan penting musholla sebagai pusat pendidikan masyarakat pedesaan juga tidak bisa dibilang baik. Guru-guru ngaji yang menjadi pengasuh sekaligus pendidik di musholla umumnya memiliki kehidupan yang sederhana saja. Profesi mereka mayoritas adalah petani dengan penghasilan yang pas-pasan untuk kebutuhan sehari-hari saja. Beliau-beliau ini mengajari para santri di musholla bukan dilandasi oleh keinginan untuk mendapatkan penghasilan tambahan, namun lebih karena rasa pengabdian diri mereka kepada msayarakat dan Allah SWT. Sudah selayaknyalah mereka lebih dihargai oleh pemerintah yang seharusnya mengemban amanah dalam mendidik masyarakatnya supaya lebih memahai agama.
Musholla mungkin dikenal luas hanya sebatas tempat untuk sholat saja. Namun kenyataan yang ada di masyarakat, khususnya di masyarakat pedesaan, musholla berperan penting dalam memberikan pendidikan keagamaan kepada para generasi muda. Ironisnya kini musholla sudah banyak ditinggalkan. Jumlah santrinya sudah sangat jauh berkurang dari periode terdahulu. Musholla yang dulu selalu ramai dengan para santri pada saat Ramadhan dan Idul Fitri, kini sudah tidak sesemarak dulu lagi. Bahkan pada malam takbiran saja yang melafalkan takbir kemenangan di musholla-musholla adalah kaset rekaman, bukan para santri. Jikalau ada itupun sangat sedikit jumlahnya. Sungguh sudah sangat jauh berbeda.
Akhirnya, menjadi tanggung jawab kita bersama supaya musholla tidak semakin kehilangan perannya di masyarakat. Semua stakeholder seperti orang tua, pemerintah, dan seluruh anggota masyarakat perlu kiranya saling memberikan support sehingga musholla dalam peranannya mendidik masyarakat yang beretika bisa terwujud.
Dituis oleh : Agil S Habib
Sumber gambar : photobucket.com