Mohon tunggu...
Agik Ns
Agik Ns Mohon Tunggu... -

Peduli Lingkungan dan Pusaka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tawaran Solidaritas

27 Agustus 2014   23:30 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:21 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tawaran itu sebetulnya -dan menurut sudut pandang saya- cukup menggiurkan, apalagi utk penduduk yg masih sesederhana itu. Rumah2nya terbuat dari papan jati yg tdk terurus, bukan dari kayu jati kelas top, kusam dan berlepotan lumpur tai sapi. Sebagian lantaipun masih berupa tanah yg tidak rata. Kerjaannya juga sebagai petani ladang yang tiap hari hanya bergulat dengan lumpur sawah dan tanah tegalan. Dan dalam keseharianpun belum tentu pegang uang gepokan.

Bahkan kemarin waktu penjual es kecot mampir di tenda, bapak yang ikut nungguin istrinya tolak pabrik semen kebingungan untuk membelikan es kecot buat anaknya. Malah dengan guyon bapak itu meminta penjual es kecot utk meninggalkan dagangannya.." Ning kene lagi do prihatin, ora usah ditawani es, nek gelem es sa'adahe ditinggal, awakmu  ndang lungo.." :-) .(Di sini sedang prihatin semua, tidak usah ditawari es. Kalau mau es termasuk tempatnya ditinggal saja dan kamu cepat pergi)

Akhir-akhir ini sptnya pihak pro semen kebingungan dan mulai ketakutan kalau proyek pabrik akan gagal. Orang-orang (kaya) ini mulai negosiasi di antara sesama pro semen untuk membujuk "saudaranya" yang tolak semen, supaya mau pulang dan gulung tenda dengan cara memberi puluhan juta rupiah perorangnya. Mereka kawatir, bila proyek semen gagal, maka armada yang dipakai, seperti dumptruck, juga tidak beroprasi di daerah tsb, sehingga akan mengurangi pendapatan.

Luar biasanya, orang-orang tolak semen masih teguh pendiriannya menolak dengan cara halus dan tetap tidak memusuhi mereka. Gepokan uang yang ditawarkan bisa mencapai 20 juta rupiah perorang, itu tidak membuat mereka meninggalkan tenda, tidak membuat mereka lupa kawan seperjuangannya.

Orang-orang tolak semen itu masih saja enjoy dengan cara hidup sebagai pengungsi, hidup di tenda. Rembugan antar mereka semakin gayeng, ibadahnya juga tak ketinggalan. Bahkan ketika 17an, acarapun digelar dengan penuh seni dan semangat. Memang, tudingan negatif ada saja bagi ibu-ibu ini, tapi biarlah karena kata Ming Ming Lukiarti dalam status facebooknya “Gosip, semakin digosok, semakin sip”

Diperlukan Solidaritas

Aksi yang sudah berjalan 70 hari ini, seharusnya sangat disadari oleh warga Rembang, Lasem, Blora dan sekitarnya sebagai bentuk perjuangan masa depan, bukan aksi yang bisa diharapkan hasilnya untuk beberapa tahun ke depan saja.

Memang masih banyak warga yang belum menyadari akan dampak yang timbul bila pabrik semen jadi berdiri di wilayah Gunem, Rembang. Apalagi Rembang dan Lasem berjarak minimal 26 km dari Gunem. Padahal sebetulnya dampak yang lebih utama bila dilihat dari ketersediaan air konsumsi, maka wilayah inilah yang akan kena imbasnya, karena air PDAM diambil dari wilayah ini.

Sekarang saja saat kemarau seperti ini PDAM wilayah Lasem tidak bisa menyediakan air setiap hari, kadang bisa dua hari baru mengalir, atau yang sering terjadi mengalir di malam hari.

Dalam rembug santai malam Minggu, 23 Agustus 2014, di Pondok Gus Zaim, Karangturi Lasem yang dihadiri oleh Gus Baehaqi, Sarang, Rembang dan personel JMPPK Rembang, Gus Zaim menyarankan untuk lebih menggalang solidaritas terutama dari wilayah Lasem dan Rembang. Karena memang wilayah inilah yang juga akan terkena imbas pabrik semen, manakala gunung karst dihancurkan.

Sebagai gambaran logika yang gampang, CAT Watuputih ada di daerah atas dari Kabupaten Rembang dan Kecamatan Lasem. CAT Watuputih ini menangkap air hujan, menyerap, menyaring dalam tiap mikro miliimeter dan mengalirkannya dalam gua dan lubang dalam tanah. Aliran ini sampai ke Lasem dan Rembang, saya tidak tahu pasti, berapa lama waktu yang diperlukan air dari daerah atas bisa sampai ke bawah, tapi saya pernah dengar dari ahli bahwa air sumur di kota Kudus berasal dari serapan air di Gunung Muria, membutuhkan waktu 30 tahun untuk bisa sampai ke kota. Luar biasa….padahal kondisi tanah di Kudus dan Rembang sangat berbeda, karena di Rembang kondisi tanahnya kering dan keras.

Menyadari proses yang luar biasa ini, maka problem air di Blora, Rembang dan Lasem harusnya menjadi perhatian yang luar biasa pula bagi masyarakat Blora, Rembang dan Lasem. Maka sudah saatnya warga Lasem, Rembang dan Blora mempertahankan CAT Watuputih dari ancaman tambang dengan menolak kehadiran pabrik semen yang akan merusak tidak hanya dari segi polutan tapi bahkan system ekologi di wilayah Rembang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun