Kata 'janda' itu sudah cukup familiar di kalangan masyarakat kita, terutama di Indonesia. Dari situ, muncul berbagai macam persepsi tentang apa artinya 'janda'. Sayangnya, stigma negatif terhadap janda jadi yang paling sering dibicarakan di masyarakat kita. Padahal, kalau kita lihat lebih dalam, sebenarnya tidak ada yang salah dengan istilah itu. Tapi sayangnya, semua stigma dan pandangan buruk tentang janda ini sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat kita.
Baru-baru ini, ada kejadian yang menggemparkan dunia maya terkait salah satu calon gubernur Jakarta nomor urut 1. Ini karena cara kampanye dari calon tersebut yang dianggap tidak etis. Dalam kampanye tersebut, sang calon gubernur menyebutkan janda miskin dalam pidatonya. Tak berhenti di situ, Ia juga bergurau bahwa salah satu rekannya akan bersedia menikahi para janda jika memang cocok. Bagai menabur garam di atas luka, rupanya sang pasangan calon, calon wakil gubernur Jakarta nomor urut 1, juga sempat blunder mengenai pernyataannya terhadap janda. Ia menyatakan bahwa para janda harus menikahi pengangguran. Seperti yang diekspektasikan, guyonan sang calon wakil gubernur itu menimbulkan polemik.
Apa yang mereka katakan terkesan seksis dan memperlakukan perempuan, terutama janda, seolah-olah seperti barang yang bisa dibagi-bagi. Beberapa pertanyaan muncul dalam benak tatkala mendengarkan perkataan beliau tersebut. Mengapa tiba-tiba menyebut janda? Apakah tidak ada topik lain untuk dibahas selain menggunakan janda sebagai bahan kampanye? Konteks yang dibahas malah konteks negatif pula.
Hal ini telah masuk dalam tindak diskriminasi terhadap perempuan. Dimana dalam kodratnya, janda adalah seorang manusia, seorang perempuan, yang memiliki hati dan perasaan. Segala bentuk diskriminasi terhadap sesama manusia telah diatur dalam perundang-undangan negara kita, seperti yang telah ditegaskan pada UUD 1945 pasal 28 I ayat 2 yang berbunyi, "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu."
Diskriminasi terhadap janda ini bukanlah yang pertama kali di Indonesia. Stigmatisasi negatif terhadap janda ini semakin diperparah oleh media populer dan budaya pop. Film, sinetron, dan acara televisi seringkali menggambarkan janda sebagai seorang perempuan yang memprihatinkan dan perlu dikasihani, atau justru sebagai penggoda rumah tangga orang lain. Hal ini semakin melanggengkan streotipe buruk dari janda di masyarakat.
Padahal, jikalau kita pikirkan lebih jauh, janda bisa dibilang adalah perempuan kuat yang mampu membebaskan dirinya dari belenggu hubungan pernikahan yang tidak harmonis. Pengajuan perceraian bukanlah hal yang mudah, tapi juga bukian sesuatu yang menakutkan ataupun memalukan. Mengajukan gugatan cerai merupakan hak perempuan yang diberikan oleh undang-undang, seperti yang ditegaskan dalam pasal 39 nomor 1 Undang-Undang tahun 1974 tentang perkawinan yang menjelaskan bahwa, "Perceraian dapat dilakukan berdasarkan talak (perceraian yang diajukan oleh suami) atau gugat (perceraian yang diajukan oleh istri)."
Banyak janda yang justru menunjukkan ketangguhan luar biasa dalam hidup --membesarkan anak seorang diri, mencari nafkah, sekaligus mengambil peran ganda sebagai kepala keluarga dan kepala rumah tangga. Lingkungan sosial harus berhenti memandang rendah janda dan menjadikan mereka sebagai bahan pergunjingan. Pemerintah seharusnya juga mengambil peran sebagai contoh utama dalam hal ini, bukannya malah menambah buruk pandangan masyarakat terhadap janda. Selain itu, edukasi masyarakat tentang kesetaraan gender dan penghapusan diskriminasi berbasis status pernikahan juga harus terus digalakkan.
Di era modern ini, sudah seharusnya kita meninggalkan pandangan-pandangan kolot yang merugikan kelompok tertentu dalam masyarakat. Status janda bukanlah aib atau kutukan. Dukungan dari masyarakat akan ketangguhan mereka dalam menjalani hidup adalah hal yang mereka butuhkan, bukannya prasangka buruk atau diskriminasi. Mengubah pandangan sosial bukan merupakan perkara yang mudah, tapi bukan tidak mungkin. Penghargaan terhadap martabat setiap individu merupakan hal yang penting dan mencerminkan masyarakat dan beradab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H