Informed Consent atau lebih kerap dikenal sebagai proses permintaan persetujuan pasien untuk melakukan tindakan medis bukanlah hanya sebuah formalitas berupa lembar persetujuan medis saja, melainkan suatu hal yang dianggap perlu dan penting dilakukan oleh tenaga medis serta tenaga kesehatan. Alasannya karena informed consent ini berfungsi untuk menciptakan kesepakatan yang terjadi antara tenaga medis atau tenaga kesehatan, contohnya perawat dan juga pasien, dalam menghasilkan suatu keputusan yang pasien ambil tanpa paksaan dari pihak manapun untuk mendapatkan suatu intervensi yang bersifat serius seperti melaksanakan prosedur invasif contohnya pemasangan saluran vena sentral, operasi atau pembedahan, dan beberapa program perawatan seperti kemoterapi (Potter et. al., 2023).Â
Lantas, bagaimana jika pasien tidak memberikan izinnya atau tidak menyetujui terhadap intervensi yang akan diberikan? Apakah seorang perawat akan membiarkannya begitu saja?
Tentunya, tidak.
Hal pertama yang perlu dikaji dari pertanyaan tersebut adalah mengenai latar belakang mengapa pasien menolak melakukan intervensi. Jika pasien menolak karena tidak mengerti akan penjelasan mengenai intervensi yang hendak diberikan, maka salah satu tugas perawat yaitu sebagai edukator yang perlu menjelaskan kembali mengenai informasi dengan bahasa yang mudah dipahami atau jika pasien memiliki keterbatasan dalam berbahasa seperti hanya dapat memahami informasi menggunakan bahasa daerahnya saja, sebisa mungkin perawat mengikuti bahasa pasiennya atau memanggil bantuan penerjemah. Kemudian jika pasien menolak intervensi karena pasien merupakan pasien disabilitas seperti pasien tuli dan bisu, yang tidak dapat memahami apa maksud tindakan yang akan dilakukan, maka informed consent harus didampingi dengan penerjemah profesional yang hadir secara langsung atau melalui media jarak jauh untuk menjelaskan ketentuan dari persetujuan yang perawat ajukan (Potter et. al., 2023).
Namun perlu di highlight mengenai informed consent ini yaitu perawat tidak perlu menunggu respon persetujuan pasien mengenai informed consent jika pasien dalam keadaan darurat, kritis, atau membutuhkan operasi segera, misalnya pada pasien yang mengalami kecelakaan (Radford University, 2022). Selain itu, informed consent juga dapat diwakilkan oleh orang tua atau kerabat jika pasien tidak sadarkan diri dan juga berlaku bagi pasien yang masih kanak - kanak karena masih berada di bawah usia 18 tahun.
Kemudian, jika pasien menolak dan tidak memiliki latar belakang seperti yang sudah dijelaskan, maka langkah pertama yang harus diambil perawat adalah dengan membujuk pasien secara empatik dan tanpa memaksa, yaitu dengan cara memberikan penjelasan yang jelas dan transparan mengenai prosedur intervensi yang akan dilakukan. Jelaskan secara rinci manfaat prosedur tersebut bagi kesehatan pasien, serta risiko dan konsekuensi yang mungkin terjadi jika intervensi tidak dilakukan segera. Hal ini bertujuan agar pasien bisa memahami sepenuhnya apa yang akan terjadi jika mereka menolak tindakan tersebut. Namun, jika pasien tetap menolak setelah penjelasan tersebut, perawat harus menghormati keputusan pasien sesuai dengan prinsip informed consent dan otonomi yaitu memberikan hak kepada pasien untuk menentukan pilihan mereka sendiri mengenai tindakan medis yang akan dilakukan. Meskipun begitu, perawat juga bisa menawarkan alternatif intervensi yang dapat membantu mempertahankan kondisi pasien agar tidak memburuk, dengan tetap memberikan informasi yang jelas tentang opsi-opsi alternatif intervensi yang ada. Tujuannya adalah untuk menjaga kesejahteraan pasien tanpa melanggar hak otonomi mereka, dan memastikan pasien tetap diberi pilihan terbaik sesuai dengan kebutuhan kesehatannya (Aveyard, 2004).
Lalu apakah Informed Consent berhubungan dengan Altruisme dan Profesional Keperawatan?
Terkait hal ini, terlebih dahulu kita harus mengetahui apa itu arti dari altruisme. Â Dalam Berman (2022), altruisme ini termasuk salah satu nilai penting dalam keperawatan yang diartikan sebagai suatu sikap perhatian mengenai kebahagiaan, kenyamanan, dan keamanan pasien yang diberikan oleh seorang perawat terhadap pasiennya tanpa mengharapkan suatu imbalan apapun dari pasien. Singkatnya, altruisme ini merupakan berbuat baik tanpa pamrih pada seseorang atau sekelompok orang.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh National Institute of Health mengenai hubungan antara informed consent dan altruisme, yang dilakukan selama sebulan terhadap tiga puluh sembilan wanita pasca-operasi payudara, ditemukan bahwa altruisme merupakan salah satu faktor penting dalam proses informed consent (Bidad et al., 2016). Sikap altruisme dapat mempengaruhi iklim interaksi antara perawat dan pasien, di mana perawat yang menerapkan altruisme cenderung menunjukkan empati, kepedulian, dan tidak hanya fokus pada kewajiban profesionalnya, tetapi juga memperhatikan kebutuhan dan perasaan pasien. Ketiga sikap tersebut bertujuan untuk menciptakan rasa aman bagi pasien, sehingga pasien merasa lebih nyaman dan terbuka untuk berbagi perasaan serta informasi pribadi dengan perawat. Selain itu, menurut Teori Kepedulian Manusia menurut Watson, salah satu bentuk altruisme adalah dengan mendengarkan dengan penuh perhatian, yang bertujuan untuk menumbuhkan rasa nyaman pasien terhadap perawat (Chen et al., 2022).
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa informed consent dan altruisme dapat dijadikan sebagai kunci utama bagi perawat dalam menjalankan peran profesionalnya. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa sikap altruisme yang ditunjukkan oleh perawat dapat memperkuat hubungan serta membangun komunikasi yang baik antara perawat dan pasien. Jadi, ketika perawat melakukan prosedur informed consent terkait suatu intervensi, kemungkinan besar pasien akan  cenderung menyetujui tindakan tersebut. Ini karena pasien merasa lebih percaya, aman, dan nyaman dengan perawat yang menunjukkan perhatian tulus, empati, serta sikap altruisme, yang pada akhirnya menciptakan rasa keterbukaan dan pengertian dalam pengambilan keputusan medis.
Referensi