Perekonomian suatu negara sering mengalami inflasi. Namun, inflasi yang terlalu tinggi dapat berdampak besar pada daya beli masyarakat. Inflasi, menurut Bank Indonesia (2023), adalah kenaikan harga yang umum dan konsisten dalam jangka waktu tertentu. Hal ini dapat mengurangi nilai uang kita, yang berarti kita tidak bisa membeli barang atau jasa lagi.
Pertanyaan utamanya adalah, seberapa siap kita untuk bertahan dalam kondisi ini? Dengan inflasi yang terus berubah, masyarakat harus memahami efeknya dan menemukan cara untuk bertahan hidup.
Faktor-faktor seperti perubahan kebijakan moneter yang mempengaruhi jumlah uang beredar, peningkatan permintaan, peningkatan biaya produksi, atau inflation-pull inflation adalah beberapa penyebab inflasi. Misalnya, Bank Dunia (2023) mengatakan bahwa kenaikan harga energi global menjadi penyebab utama inflasi pada tahun 2022-2023, terutama setelah konflik geopolitik yang memengaruhi rantai pasokan.
Indonesia memiliki contoh lain di mana biaya produksi meningkat karena kenaikan harga bahan baku dan bahan bakar minyak. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2023), kenaikan harga bahan bakar minyak berkontribusi sebesar 5,28% terhadap inflasi tahunan pada 2022. Hal ini kemudian menyebabkan kenaikan biaya transportasi, makanan, dan kebutuhan dasar lainnya.
Aspek yang paling terpengaruh oleh inflasi adalah daya beli masyarakat. Kemampuan untuk membeli barang atau jasa akan semakin berkurang ketika harga naik sementara pendapatan mengalami stagnan. Laporan BPS (2023) menyatakan bahwa Indeks Harga Konsumen (IHK) naik sebesar 4,3% pada triwulan pertama tahun ini, sebagian besar disebabkan oleh kenaikan harga komoditas dan energi.
Pengeluaran terbesar dialokasikan untuk kebutuhan dasar seperti makanan, transportasi, dan kesehatan di masyarakat kelas menengah ke bawah. Pendapatan yang tidak meningkat seiring berjalannya inflasi dapat memperburuk situasi. Menurut Lembaga Riset Ekonomi Core Indonesia (2023), daya beli masyarakat dapat berkurang antara sepuluh hingga lima belas persen ketika inflasi mengalami kenaikan, terutama bagi orang-orang yang memiliki  penghasilan di bawah Upah Minimum Regional (UMR).
Dibandingkan dengan daerah pedesaan, dampak inflasi ini lebih terasa di daerah perkotaan. Menurut BPS (2023), distribusi logistik yang mahal dapat menyebabkan kenaikan harga pangan di wilayah perkotaan. Oleh karena itu, keluarga berpenghasilan rendah yang bertempat  tinggal di kota-kota besar harus melakukan penghematan yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Pengaruh Inflasi Pada Pendapatan Pekerja
Inflasi juga dapat meningkatkan tekanan pada pendapatan karyawan. Upah yang stagnan menjadi kurang bernilai ketika harga mulai naik secara signifikan. Di banyak negara yang berkembang, peningkatan pendapatan riil para pekerja tidak mampu mengimbangi lonjakan inflasi ini, termasuk di Indonesia sendiri menurut World Bank (2023).
Sebagai contoh, jika harga barang pokok mengalami kenaikan sebesar 10%, seorang pekerja dengan gaji Rp5 juta per bulan akan merasakan pengurangan daya beli. Akibatnya, pekerja harus mengurangi pengeluarannya atau mencari cara lain untuk mendapatkan uang tambahan. Kementerian Ketenagakerjaan (2023) mengatakan bahwa peningkatan Upah Minimum Regional (UMR) hanya sekitar 6-7% per tahun. Namun, inflasi melebihi angka tersebut, hal ini  dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara pendapatan dan biaya hidup.
Selain itu, pekerja informal juga lebih rentan. Sementara kebutuhan pokok semakin bertambah mahal, mereka tidak memiliki jaminan pendapatan yang tetap. Menurut International Labour Organization (ILO) (2023), pekerja formal memiliki daya tahan ekonomi yang lebih tinggi daripada pekerja informal di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.