Korupsi menjadi salah satu kasus pidana yang sering terjadi di Indonesia, terutama kasus korupsi yang menyangkut pejabat pemerintahan. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh ICW pada tahun 2014, diperoleh hasil bahwa jumlah kasus korupsi yang terjadi selama kurun waktu tersebut berjumlah 629 kasus dengan total kerugian negara mencapai Rp 5,29 Triliun. Sedangkan hasil penelitian oleh ICW pada tahun 2015 menunjukan bahwa terjadi penurunan kasus korupsi sebesar 79 kasus menjadi 550 kasus dengan total kerugian negara mencapai Rp 3,1 Triliun.
Korupsi dapat dicegah apabila adanya rasa amanah dari setiap pejabat pemerintah dalam menggunakan uang rakyat, dengan kata lain yang memiliki andil besar dalam pencegahan korupsi adalah iman dari seorang pejabat pemerintah. Tingkat keimanan tidak dapat diukur dan dilihat dengan indera sehingga tingkat kepercayaan orang lain rendah, maka dari itu dibutuhkan sistem pengendalian intern, pengawasan, dan audit untuk mencegah korupsi tersebut.
Pengendalian intern, pengawasan, dan audit dianggap sebagian kalangan sebagai hal yang sama. Padahal, pengendalian intern, pengawasan, dan audit merupakan hal yang berbeda namun memang ketiganya saling berkaitan.
Sistem pengendalian internal pada dasarnya dilakukan untuk melindungi aset suatu entitas yang dilakukan melalui kebijakan, prosedur, dan praktek yang akan dilaksanakan oleh orang yang berada dalam entitas tersebut. Dasar hukum pelaksanaan SPI dalam instansi pemerintah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.
Menurut American Institute of Certified Public Accountants (AICPA), sistem pengendalian intern ditujukan untuk mencapai 4 tujuan dasar yaitu untuk melindungi aset perusahaan, menjamin keakuratan dan reabilitas informasi dan pencatatan akuntansi, meningkatkan efisiensi dalam operasi perusahaan, dan untuk mengukur kebijakan dan prosedur yang dibuat oleh manajemen.Â
Apabila dilihat dari konteks pemerintah sebagaimana tercantum dalam PP No. 60 tahun 2008, SPI bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan asset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.
James A Hall dalam bukunya yang berjudul Accounting Information System menyebutkan bahwa SPI memiliki keterbatasan diantaranya adanya kemungkinan eror karena tidak ada sistem yang sempurna, adanya pelanggaran yang dilakukan oleh orang dalam organisasi bersangkutan seperti KKN, pihak manajemen yang mengesampingkan SPI, dan kondisi yang berubah sehingga pengendalian yang telah ada menjadi tidak efektif. Beliau mengilustrasikan SPI seperti gambar di bawah ini.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa SPI tidak ada yang sempurna. Kelemahan atau kekurangan dari SPI akan menyebabkan celah (exposure). Kejadian yang tidak diharapkan dapat masuk melalui celah tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut SPI terdiri dari 3 level yaitu preventive control, detective control, dan correcive control.
Korupsi merupakan salah satu kejadian yang tidak diharapkan terjadi di lingkungan pemerintahan, maka sistem pengendalian internal yang dibangun yaitu:
- Preventive control yang dilakukan yaitu dengan adanya pemisahan fungsi antara fungsi otorisasi, fungsi eksekusi, fungsi akuntansi, dan fungsi aset pemerintah. Misalnya adanya bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran, bendahara penerimaan bertugas untuk melakukan penerimaan yang berasal dari pendapatan asli daerah sedangkan bendahara pengeluaran bertugas untuk melakukan belanja yang mana uangnya diperoleh dari bendahara umum daerah.
- Detective control dilakukan oleh KPK, kepolisian, dan kejaksaan sebagai aparat penegak hukum.
- Corrective control dilakukan oleh instansi pemerintah yang bersangkutan dengan cara memperbaiki celah-celah untuk melakukan korupsi, misalnya pengadaan barang saat ini dilakukan secara elektronik melalui LPSE.