Bagiku, akan ada hari-hari yang di mana, ketika aku sampai pada titik itu, semua akan berjalan seperti yang aku rencanakan. Hari di mana janji kehidupan yang lebih baik akan datang untuk menyapa. Seseorang pernah berkata "Tunggulah "waktu" itu, dan kau akan mengerti mengapa kau berada pada titik ini". Aku yang saat itu masih terlalu "polos" untuk dapat mengerti tentang dunia dan seisinya pun hanya menganggukkan kepala.Â
"Kau akan melanjutkan ke mana setelah ini?", tanya Tia, teman sebangkuku pada suatu hari. Aku pun hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum, tetapi dalam hati sempat merapalkan beberapa do'a, dan berharap Tuhan akan mengaminkan. Belajar dan berdoa adalah satu dari beberapa hal yang hanya bisa aku lakukan. Kami pun kembali tenggelam dalam rutinitas kami. Duduk di kelas akhir tak lantas membuat kami kehilangan kesempatan hanya untuk mendengarkan keluh kesah yang terjadi di antara kami, lebih tepatnya kami berlima, yang bersahabat sejak awal menginjakkan kaki di sekolah ini.Â
Satu tahun berlalu tanpa terasa, dan pertanyaan yang kurang lebih isinya sama pun datang silih berganti. Meskipun hampir setiap hari pertanyaan itu datang, aku tetap pada pendirianku untuk tetap diam, atau hanya menjawab dengan gurauan. Tujuan hidupku bukan konsumsi publik, begitu pikirku.Â
Aku bukan seorang yang ambisius, menetapkan pilihan harus "A", maka harus "A",atau jika tidak, maka tidak ada pilihan lain. Akan tetapi, ada suatu waktu di mana, kesempatan yang tidak pernah terlintas di benakku, dan menjadi hal yang paling aku hindari, berbalik menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Keputusasaan itu memang ada, tetapi kesempatan yang akan datang itu, lebih dari sekadar petunjuk arah, walaupun harus menentang takdir, aku berharap akan sampai pada titik itu, dan aku siap.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H