Globalisasi digadang-gadang menjadi penyebab utama minimnya rasa nasionalis di kalangan pemuda negeri. Sementara dalam masalah krisis nasionalisme, alasan yang dimiliki oleh pemuda untuk memandang negerinya sendiri dengan persepsi apatis sangatlah variatif namun tetap mengerucut kepada satu dasar masalah yang sama: ketidakadilan. Dengan terbitnya banyak kebijakan yang terkesan seperti mengecilkan peran mereka dan tidak memberi ruang untuk tumbuhnya rasa bangga selama berada di Indonesia, banyak dari mereka yang bertanya kepada diri sendiri: "Untuk apa aku cinta pada negeriku, jika negeriku sendiri tak mencintaiku?"
Nasionalisme: Relik Masa Lalu?
    Keinginan dan tekad para pejuang zaman dulu untuk bersatu selalu berakar dari pemikiran yang sama, yaitu perasaan senasib. Kaum intelek yang berhasil disadarkan atas pentingnya meraih kembali kebebasan, hak dan etika yang telah dirampas, rela melakukan segala cara untuk menghidupkan kesadaran nasional sekaligus jiwa antikolonial. Hal tersebut terdapat dalam berbagai aspek, seperti mengedukasi bibit pemikiran revolusioner kepada buruh tenaga, membentuk macam-macam organisasi dengan visi yang sama, hingga bersumpah janji tersakral sepanjang sejarah Indonesia yang menegaskan kembali identitas Indonesia sebagai bangsa.
    Melalui prosesnya, pembentukan karakter nasionalis bukanlah suatu hal yang mudah. Berkali-kali, kontrasnya perbedaan terasa terlalu terang untuk diredam oleh seruan "Kita sama! Kita sedarah! Kita sebangsa!" yang tak kalah lantang. Bukan hal yang baru ketika terjadi bentrok pemikiran dari garis identitas generasional yang berbeda. Jika identitas suku, agama, atau ras diibaratkan sebagai benang, maka Indonesia adalah kain paling indah dengan corak warna paling memanjakan mata. Ibarat benang pula, perbedaan ini sering kali menjadi alasan mengapa kain indah itu tidak seperti baju yang lengkap dan fungsional, karena dasarnya mudah kusut dengan banyak ragam benang yang berbeda.
    Sekali lagi, benang. Apabila ada penjahit yang kompeten dan bertekad tinggi, sesulit apapun itu, jemarinya akan menghasilkan sebuah pola yang harmonis. Seperti dalam sejarahnya, Indonesia zaman prakemerdekaan dapat membuktikan murninya rasa cinta terhadap bangsa. Narasi kebersamaan itu dapat mengikat kuat kita sampai ke akarnya. Lebih spesifiknya, narasi yang mengiring kita menuju puncak harmoni kemerdekaan itu ialah rasa tertindas terhadap bangsa asing yang lebih besar dan amat kejam. Nasionalisme di Indonesia ditanamkan dengan campuran corak rasa ketakutan atas inferioritas, membuat perasaan itu membara dan bereaksi kuat terhadap ancaman asing, dan hanya terhadap ancaman asing.Â
Nasionalisme di Ujung Tanduk
    Meratapi masa kini, sudah jelas rasanya bahwa nasionalisme sebagai ideologi sudah tak relevan lagi. Tak dapat dipungkiri, nasionalisme pada abad 20 sangatlah berfungsi bagi negara-negara yang baru merdeka setelah Perang Dunia II. Nasionalisme pada saat itu menjadi pion penting dalam melawan penjajahan, imperialisme, dan kolonialisme. Namun, setelah menghadapi itu semua, apa yang tersisa? Apakah masih ada ruang untuk cinta ketika yang dirasakan adalah ketidakberdayaan di tanah sendiri? Apakah nasionalisme dapat memuluskan birokrasi, atau hanya ilusi semu toxic relationship negara kepada rakyatnya?Â
    Nasionalisme kini tak lebih dari sekadar simbol yang bemakna ganda, sering menjadi alat propaganda negara dan diperdagangkan oleh politisi untuk memperkaya dirinya sendiri. Ketika bersuara, mereka dengan lantangnya mengucapkan bualan tanpa makna, "Pilihlah saya, saya berpegang teguh pancasilais dan nasionalis, siap menjaga kepentingan bangsa dan negara!". Padahal meskipun begitu, politisi tersebut tidak benar-benar nasionalis, beliau lebih mencintai uang daripada tanah airnya sendiri. Dia akan mencari celah berkuasa dengan cara apapun termasuk menjual sentimen nasionalisme.Â
    Dalam panggung politik juga, nasionalisme digunakan sebagai senjata untuk menggebuk lawan politiknya dengan tudingan keji. Demi mendapatkan kuasa, lawan politiknya dinarasikan menjadi sosok yang tidak nasionalis, tidak pancasilais, komunis, ateis, simpatisan ISIS, radikal Islamis. Padahal, lawan politiknya belum tentu persis seperti apa yang politisi yang berlagak sok nasionalis itu umbarkan. Paradoks. Nasionalisme digunakan untuk menggebuk saudara sebangsanya sendiri agar popularitas partainya meningkat. Nasionalisme di era modern seringkali digunakan untuk memecahbelahkan integrasi kebangsaan, atau mari pertanyakan maknanya kembali, apakah hal semacam ini masih sama dengan narasi nasionalisme tempo dulu? Kalau tidak, berarti yang tersisa kini hanyalah sandiwara semu.Â
Â