Hidup di lingkungan pedesaan yang notabene masyarakatnya berprofesi sebagai petani membuat kita menyadari bahwa petani sebagai produsen utama produk hasil pertanian sejujurnya belum mendapatkan 'posisi' yang layak dalam siklus ekonomi. Petani-terutama di pedesaan- masih banyak bergantung pada adanya tengkulak sehingga penjualan produksi hasil pertaniannya seringkali tidak memperoleh hasil yang sebanding dengan kerja keras mereka.
Banyak petani yang menganggap bahwa tengkulak berperan besar dalam sistem pemasaran output mereka. Namun pada kenyatannya benarkah demikian?
Dalam penjualan hasil pertanian dengan tengkulak, seringkali tengkulak  mendapatkan profit yang lebih besar dibandingkan dengan petani yang notabene adalah produsen utama komoditas tersebut. Hal ini biasanya disebabkan karena tengkulak mempunyai channel yang lebih luas dari penjualan di lapangan dibandingkan dengan petani yang cenderung hanya bisa menjualnya area sekitar mereka.
Padahal jika kita tilik lebih dalam, tidak semua tengkulak langsung menjualnya di pasaran. Banyak yang kemudian menjalani proses penjualan lagi sehingga proses penjualannya tidak hanya pada petani-tengkulak-konsumen namun lebih panjang. Hal ini mengakibatkan harga buah dan sayuran bisa melonjak tinggi di pasar antara penjual dan konsumen.
Bayangkan saja, jika penjualan hasil produksi pertanian ini dilakukan secara langsung dari petani kepada konsumen. Maka, petani akan mendapatkan harga sesuai harga pasar saat itu sehingga pendapatan dari petani akan lebih meningkat dan kesejahteraan petani pun meningkat pula.
Pemerintah sudah sejak lama mulai 'menggembor-gemborkan' beragam upaya supaya produsen bukan lagi sebagai price taker sehingga bisa mendapat input yang maksimal dari hasil output mereka. Namun sepertinya hal ini adalah sesuatu yang sulit  karena pada dasarnya, menjual komoditi hasil pertanian dengan tengkulak sudah menjadi budaya yang melekat pada masyarakat dalam lingkup pedesaan.
Jika kita melihat kondisi sekarang ini yang mengharuskan semua hal untuk tidak dilakukan diluar rumah karena adanya pandemi, ternyata hal ini juga memberi dampak yang positif bagi kemajuan pasar produksi hasil pertanian. Para petani mulai mencoba hal-hal baru untuk memasarkan hasil produksi mereka, salah satunya dengan sosial media.
Banyak daerah yang identik sebagai penghasil sayur dan buah merasakan bahwa setelah adanya pandemi, terbatasnya jam operasional penjualan sayur dan buah  di pasar menuntut mereka untuk mencari cara lain agar tetap bisa menjual hasil komoditinya. Pemerintah daerah setempatpun mendukung usaha ini, salah satunya dengan pembuatan aplikasi khusus untuk transaksi sayur dan buah. Seperti yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. Mereka meluncurkan PSB atau Pasar Sayur Bandungan dalam bentuk aplikasi digital dengan melibatkan badan usaha milik desa yang ada di daerah tersebut.
Pemuda yang lebih paham dengan teknologi dan sosial media, membantu orang tua mereka untuk menjual hasil pertaniannya melalui sosial media dan mengirimkannya melalui kurir. Hal ini mendorong penjualan pasar produksi hasil pertanian kepada era baru dimana produsen atau petani tidak akan lagi bergantung kepada tengkulak untuk memasarkan produk hasil pertanian mereka.
Di Kota, hal ini mungkin sudah menjadi kebiasaan dan tidak tabu adanya. Namun berbeda di pedesaan. Banyak orang-orang yang tidak awam dengan teknologi sehingga segala hal masih dilakukan secara konvensional.
Jika penggunaan teknologi ini terjadi secara terus menerus dan dapat berkembang secara massif, maka kesejahteraan petani di Indonesia pun akan meningkat. Namun, perubahan ini tidak akan menghasilkan sesuatu yang efektif jika petani tidak memahami bagaimana  mekanisme pasar dan  penentuan nilai jual yang sesuai. Oleh karena itu, perubahan penjualan ini sejatinya hanya mengubah mindset dan budaya masyarakat petani yang sebelumnya bergantung kepada tengkulak menjadi lebih independen.