Ketidakotentikan tugas anak banyak kita ketemui. Saat teman-temannya mengumpulkan tugas, Ia juga mengumpulkan tugasnya. Kita senang, karena beranggapan dia telah mengerti. Tidak mau bertanya. Kata kita, pasti dia mengerti dan mengerjakan sendiri. Ternyata kita salah anggapan, hasil pekerjaannya ternyata tidak otentik. Hasil contekan atau kebaikan temannya tanpa penjelasan dan pemahaman. Ia mengumpul asal guru senang saja. Bisa memanipulasi guru berarti ia cerdas juga, kecerdasan dangkal  untuk aman sesaat.
Bila bukan hasil olah pikirnya, itulah yang menyebabkan mayoritas anak menjadi tak percaya diri bahkan rendah diri karena merasa gagal dalam jiwanya meski Ia berusaha dan berbuat, tetapi belum tentu baik.
BERBEDA HASIL
Hasil belajar secara otentik, nenghasilkan anak yang kompeten. Sebagai orang dewasa, kita tahu bila tidak ada pertanyaan, beranggapan anak memahami materi. Habisnya, mereka menunjukan mampu menyesaikan tugas. Ternyata hal ini tidak dapat mendefinisikan sebagai penentuan kompetensi setiap anak. Anak-anak masih suka menyembunyikan ketidakfahamannya kepada kita. Ini yang harus kita pastikan dari setiap anak.
Walau nampak tenang dan bisa oleh kita, anak tersebut sebenarnya kecewa mengetahui ia belum bisa. Kepura-puraan mengerti, lama-kelamaan akan mengarah pada penurunan kinerja anak dan guru. Anak makin susah memahami kerjaan selanjutnya, guru makin susah memberi pemahaman yang cepat dimengeri pada level berikutnya. Ingat kata Stephen Hacking, "Musuhnya ilmu pengetahuan itu bukan kebodohan, tapi ilusi (kepalsuan)."
Bila gejala dan keadaan ini terus dipertahankan anak maupun guru, itu sama saja artinya membiakkan persaingan tidak sehat, kecurangan, kecemburuan antar anak. Dan paling sering akibatnya adalah, saling menyerah (guru dan anak). "Terserahmulah, saya telah berusaha," itu kata kita.
PERBAIKAN PEMBENTUK KOMPETENSI
Kompetensi bukanlah istilah absolut. Saat kita membaik, kita menjadi lebih kompeten. Itulah yang perlu dikenali mana anak 'kepuraan', mana anak yang jujur, mana anak yang setengah mengerti, mana anak yang sudah betul-betul fasih. Dengan mengenal hal tersebut mendorong perbaikan akan menjadi terencana dan mudah.Â
Seseorang hanya bisa mencapai status level tinggi terus bergerak naik (kompetensinya mumpuni) melalui berbagai perbaikan di tingkatannya dari waktu ke waktu. Secara berkelanjutan sampai ia dikatakan tuntas.
Siswa yang punya daya motivasi intrinsik menghargai pentingnya perbaikan pada pemahamannya pada materi. Bagaimana melakukan lebih banyak hal, bisa membantu orang lain (sosialnya tinggi), dan merasakan keberhasilan dalam menguasai pengetahuan baru dalam sebuah proses. Itu semua makin menyenangkan setiap langkahnya. Berhasil teman karena bantuannya, makin membangkitkan semangatnya, ini termasuk motivasi ekstrinsik berbasil Sosio emosional. Motivasi akibat pengaruh dari tindakan  orang lain yang berhubungan dengannya. Tujuan akhirnya adalah semata meningkatkan kompetensinya sendiri  namun juga bisa memberi efek pada orang lain. Iapun bangga atas pengakuan atas dirinya itu.
Dia sebagai pemotivasi senang, dari segala tindakan positifnya berakibat komptensinya makin kuat. Namun, ada  pengaruh negatif terhadap teman-temannya. Bantuan belajar yang diterima  tanpa proses dampaknya ke anak yang dibantu hanya sesaat, yaitu ketika siswa membawa pekerjaan yang mereka banggakan kepada guru mereka mendapatkan nilai bagus, namun di dalam hati temannya kecewa karena sejatinya ia belum bisa.