Kurikulum berganti, bukupun berganti. Saat SD saya menjalani dua kurikulum, 75 dan 84. Kurikulum 1984 (CBSA) berlanjut hingga SMP dan SMA. Sempat beberapa kali perbaikan GBPP, sebagai update kurikulum. Kini saatnya bukan diajar lagi, tetapi sudah mengajar, mulai dari kurikulum 2004, KTSP, dan kini K13 dengan sekian revisi yang tak sampai. Konon untuk menyongsong kehidupan abad 21 yang serba otentik.
Masih ingat saat SD dan SMP beli buku paket harganya 700 rupiah per buku. Saat SMA dari harga 1700 hingga 2300 per buku. Bayar SPP saat itu 250 rupiah, saat SMA 600 rupiah per bulan tahun 1990an. Ingat juga penerbit buku kala itu.
Ada Tiga Serangkai, Intan Pariwara, Ganeca, sampai Balai Pustaka. Ingat juga model sampul dan jenis kertasnya. Juga masih ingat di mana saya membelinya, padahal puluhan tahun berlalu. Entah naluri dari mana, keinginan beli buku datang dari diri sendiri. Masih pendidikan dasar, sudah memahami pentingnya buku dan koran sebagai sumber ilmu. Â (Prihatinnya, anak sekarang banyak tidak menghargai buku, menyampulnya saja tak mau).
Bicara soal ingatan, selagi itu bermakna dan berkesan, akan sulit dilupakan seumur hidup. Saat membutuhkan informasi itu langsung keluar dengan cepat, seolah seperti kita mengklik link web di hape atau komputer, sekali klik langsung muncul. Apakah masih ada kita yang dewasa mampu mengingat kejadian saat kita berumur 3 tahun? Tentu ada. Ada juga kita yang tidak ingat siapa nama guru SD kelas 1 kita hingga kelas 6. Mengapa guru SD kelas satu kita sampai terlupakan?
Beberapa orang dengan sekali baca mereka bisa mengingat semua apa yang dibacanya dengan sempurna. Bahkan plot, paragraf, sampai di bab berapa mereka baca bisa diingat dengan baik. Tapi kebanyakan orang, apa yang dikonsumsi dari hasil membacanya seperti mengisi bak mandi.
Bak berisi dipakai buat mandi, kemudian air itu habis lagi, agar berisi harus diisi kembali, terus begitu. Dulu, kita dengar dari guru kita, apa yang disampaikannya masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Itulah mengapa bagi orang kebanyakan harus rajin mengulang. Bak peribahasa, hafal kaji karena selalu dibaca, hafal jalan karena diturut.
Ada juga, sih yang berbekas di bak mandi kita tadi, yaitu kerak air, namun tidak kuat bila kerak itu kita gunakan untuk menyatukan dan menguatkan pemahaman untuk diaplikasikan saat diperlukan. Bagi murid misalnya, untuk menjawab soal-soal ujian, Ia membutuhkan kepastian dari pemahaman lengkap dari yang pernah ia baca untuk menjawab soal. Bukan sepotong-sepotong, tapi mesti paripurna ingatnya, sehingga bisa menjawab betul.
Menurut Faria Sana, asisten profesor psikologi di Universitas Athabasca, Kanada. Memori kita umumnya memiliki keterbatasan intrinsik (pemahaman yang saling bertalian), adakalanya memori kita macet mengingat pasti apa yang pernah kita baca; tidak jelas, ada yang persis, dan ada tidak tepat kutipannya.Â
Kita sadari, manusia tempat silap dan lupa, karena setiap orang memiliki "Lengkungan lupa" (forgetting curve) dalam dirinya. Seperti namanya lengkungan, pasti ada curam dan naiknya. Oleh karena itu, selama 24 jam pertama setelah kita mempelajari sesuatu rawan lupa dan tak berbekas maknanya, bila tidak dicamkan atau diulang kembali. Persis seberapa banyak ingat, begitu juga yang lupa. Â Bervariasi tergantung pada kebijaksanaan masing-masing kita dalam membuat kesan saat membaca. Â
Presumably, seperti itulah daya ingat kita. Ada ingat selamanya, hanya beberapa hari, lupa-lupa ingat, dan sebagainya. Namun, Jared Horvath, seorang peneliti di University of Melbourne, mengatakan bahwa cara orang sekarang mengkonsumsi informasi dan hiburan berbeda dengan orang terdahulu yang kebanyakan informasi berasal dari buku dan media cetak lainnya. Dengan perbedaan itu, memory otak kita mengalami evolusi kemanjaan. Penghargaan terhadap informasi dari hasil baca tidak sedalam dulu dari satu alur ke alur lainnya dengan lebih teliti dan saksama diikat.
Di era internet, di mana aneka 'mesin pencari' (google, bing) membumi, kemampuan mengingat mengalami penurunan. Keinginan untuk memanggil informasi yang pernah ada di otak secara spontan dan detail menjadi kurang penting dan makin jarang dilakukan.