Tahun 2002 di Sekolah Menengah Pertama. Tidak ada hal yang bisa menandinggi indahnya masa-masa remaja, dimana jiwa-jiwa yang masih labil sangat membutuhkan bimbingan orang-orang yang disayang.
Dunia penuh perhatian yang tanpa disadari sangat-sangat dibutuhkan remaja yang masih belasan tahun yang baru mengenal dunia luar disita dengan tindakan semena-mena. Keputusan yang diambil dari perbandingan-perbandingan nyata namun sulit untuk di buktikan, mana yang baik dan mana yang buruk begitu mudah terucap tapi implementasinya butuh usaha yang lebih dan iman yang kuat untuk menentukannya.
Jujur aku merasa menjadi korban dalam tindakan pengambilan keputusan secara sepihak yang di lakukan paman ku terhadap ku. Objek pencucian nama baiknya selalu mengingatkan ku atas tindakan semena-mena yang telah dilakukan pada ku. Pamanku datang membawa berita gembira kepada kedua orang tua ku untuk membawa ku sekolah ke kota.
Kelas dua SMP aku dipisahkan dengan kedua orang tua ku, dibawa pindah dan bersekolah disalah satu Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Padang. Walaupun keputusan itu tidak meremehkan atau mengabaikan ku sebagai anak, mereka sempat meminta persetujuan ku untuk pindah sekolah ke kota dan jauh dari orang tua, aku menolak keputusan itu namun itu hanyalah sebuah basabasi, teori dari tatakrama yang seringa dipakai untuk mencapai kata mufakat . Hari pertama merupakan hari yang kaku bagi ku dimana dalam kondisi tersebut aku harus menyesuaikan pada lingkunagan baru ku. Mencari teman, menghafal jalur-jalur dengan melakukan pemetaan pada lingkungan baru merupakan hal yang wajar bagi setiap orang yang baru menempati lingkungan yang baru ditempatinya.
Bangga bersekolah di Kota juga mengiringi langkah ku menjalani hidup di negeri orang. Hari demi hari telah berhasil ku lalui dengan semampuku, namun rasa kecewa yang selalu kupendam dak dapat ku ingkari. Pertentangan yang akan muncul makin terlihat dari perlakuanku yang selalu menentang dan mempertahankan apa yang aku inginkan walaupun aku sendiri tahu bahwa yang aku lakukan itu salah.
Waktu itu aku pulang dengan keadaan baju yang kotor , wajar aku usai bermain bola kaki bersama teman-teman baru ku. Di depan pagar rumah sebuah senyuman yang tersungging yang sungguh tidak ku harapkan tersaji dengan samar-samar. Perasaan tak enak mulai memenuhi dan hati ku malai bertanya-tanya , apa salah ku. tanpa menghiraukan kejadian itu aku langsung masuk kerumah dan bersiap untuk membersihkan diri.
Malam harinya suasana kekeluargaan di meja makan yang sudah biasa di lakukan akan segera di mulai, waktu berlalu beberapa menit kemudian suatu topik mulai dibicarakan. Topik yang membahas peraturan-peratuaran yang hanya berupa larangan-larangan mulai di perdengarkan , hampir semua peraturan yang bisa ku setujui dan ku patuhi hanya satu peraturan yang tidak bisa ku patuhi. ku merasa hak-hak ku telah ditindas, sewajarnya anak laki-laki pada umumnya melakukan aktifitas berkotor-kotor merupakan hal yang biasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H