Mohon tunggu...
Ageng Rikhmawan
Ageng Rikhmawan Mohon Tunggu... lainnya -

"Karena Teknologi yang berfilosofi dan berseni adalah Tempe Indonesia."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tak Kehilangan Semangat Kakek

6 Oktober 2011   18:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:15 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak Kehilangan Semangat Kakek

Makam itu seperti menumbuhkan urat-urattak berbunga Kamboja. Mulai meratap angkasa sebelum menggapai, sinar panjang kemarau matahari memupuskan ujungnya. Bertumpuk daun-daun malah menyelimuti penghuni dibawah agar melembab dan tak terkena terik. Perputaran. Manusia hidup, karena suatu ajal ia mati, jasadnya lalu menjadi tumbuhan. Tumbuhan itu kini masih menutupinya dari panas dunia. Daging menutupi tulang.Jasad menutupi pandirnya dunia. Itu pun juga dihamparan nisan-nisan ini.

Aku bersama ibu hendak berkirim doa setelah kemenangan kemarin tak datang kesini. Kemenangan yang kami bawa setelah sebulan berderma dengan ibadah. Ini kebudayaan setempat yang masih juga dibawa ibu sampai sekarang. Walau dua hari lalu kami baru datang dari berkilo-kilo meter jauhnya dengan kebudayaan ekstrim perpaduan disana. Kami masih melakukannya kunjungan.  Pekan ini baru bisa pulang untuk silaturahmi di asal kami.

“ Aku harap tidak lupa dimana tempat Kakek dimakamkan nak “.

“ Berapa lama kita tak datang kesini, mah ? ”.

“ Tiga tahun. Terakhir kita kesini saat Paman Ardi menikah. “

“ Asal doa mamah dan Gilang tak terputus, Gilang rasa kakek bisa memaafkannya, mah “.

Jalan itu membelah tepat ditengah. Sama seperti yang dikabarkan oleh wahyu suci. Jalan kecil seperti jalan yang akan kita lewati, ketika kita dibangkitkan. Aku merasakan itu kala melangkah. Ini satu-satunya jalan untuk bisa memulai penghitungan jejak langkah untuk mendekat ke makam kakek.

“ Yang mamah ingat ditengah jalan ini kita kekanan. Di bawah pohon kamboja dengan dua cabang besar. Itu 3 tahun lalu. Mamah berharap kamboja itu tak menipu kita “.

Sorotan Mata kami kini tak melihat nisan yang tenggelam oleh dedaunan jatuh. Nama-nama pada batu penanda itu juga tak kami perhatikan. Satu pencarian kami adalah saat ini, pohon kamboja dengan 2 cabang besar. Sebesar apa itu aku tak tahu. Setiap dari kami menemukan Kamboja cabang dua. Kami saling menanyakan.

“ Itu mah, mari kita kesana “.

Terik memudahkan pencarianku pada Kamboja dipemakaman yang luas ini. Pohon kamboja dengan dua cabang itu telah membesar. Heran kami, sama seperti melihat sepupu yang banyak berubah tingkah polah dan penampilan mereka.

Dibawahnya sama seperti yang kami perkirakan. Makam kakek. Makam itu tampak sederhana. Walaupun dikanan-kirinya saudara-saudara Kakek, penuh dengan tambahan bangunan pada makamnya. Tapi kami merasa Kakek tak akan iri karena itu. Tapi kakek masih bangga dengan kesederhanaanya, dan juga kami dapat datang hari ini.

Ibu jongkok lalu melafalkan doa yang ia baca dari buku kecil. Aku kemudian membuka payung yang aku bawa dari mobil. Kini kumekarkan agar ibu berkhitmad dan tak terganggu panas hari ini. Aku lalu mengamini doa ibu.

Sebuah Bambu Runcing dan replika bendera Merah Putih dari seng hanya satu-satunya penanda yang bisa membuat bangga kami anak-cucunya. Itu adalah lambang untuk makam Veteran Perang Kemerdekaan. Kakek Hamdi adalah Pejuang 45 dari Laskar Hizbullah. Kakek Hamdi diberi umur panjang hingga ia dapat menceritakan pengalaman menjaga merah putih tetap kokoh di Jawa, kepada cucu-cucunya. Kemudian memori melayang yang sadar aku telusuri untuk mengingat beliau.

Masa kecil kami hidup bersama kakek dikota ini. Karena Ibu dan Bapak harus dinas diluar pulau. Aku dan kakakku dititipkan kepada beliau. Kakek adalah seorang yang disiplin luar biasa. Aku diajarkan untuk tepat waktu dalam berbagai hal. Tepat waktu beribadah. Tepat waktu untuk belajar. Jika kami ketahuan melanggar peraturan yang disepakati, kakekselalu memberi hukuman fisik agar kami tak mengulangi lagi.

Pernah aku dan kakakku terlambat pulang dari mengaji Al-Quran karena mampir dipasar-malam ditetangga desa kami. Diperjalanan Kakak membuat alibi bahwa kami terlambat karena ada Tahlilan di Pak Kyai.

“ Kenapa terlambat?, Kakek sudah mau nyusul ke Pak Kyai “.

“ Ada Tahlilan kek dirumah Pak Kyai. “ jawab Kakakku.

“ Tahlilan kok tidak membawa apa-apa ? kalian bohong ya? “ tatapan mata kakek kepada mata kami yang melihat jelas bahwa kami berbohong.

“ Ayo cepat kalian masuk kamar !. Kecil-kecil sudah berbohong !. Kalian tahu sudah berbohong kepada siapa? kepada Allah, kepada Pak Kyai, kepada Kakek. Mau jadi apa kamu nanti kalau sudah besar? “ marah kakek. Masih teringat dimemoriku betapa takutnya kami malam itu.

Tetapi anehnya kakek tidak memberi hukuman fisik kepada kami, seperti biasanya. Itu juga yang membuat kami bertambah ketakutan lagi. Keesokan harinya sebelum berangkat sekolah kami dipanggil oleh kakek diruang makan.

“ Kakek tidak suka dengan sikap kalian berdua kemarin. Kenapa harus berbohong kepada kakek, nak?. Mulai hari ini kakek memberikan hukuman. Kalian hanya boleh menonton tivi dari jam 1 siang sampai pukul 4 Sore “ kami hanya tertunduk lesu karena tidak bisa melanjutkan kembali menonton film ksatria jepang pukul 5 sore.

Hal yang paling kami ingat, yang terbaik, adalah disaat beliau menceritakan tentang perang kemerdekaan. Saat beliau menyandera seorang tentara muda Belanda yang ketakutan kemudian meninggal karena depresi. Mayatnya lalu dibuang ditebing, hingga sampai sekarang ada mitos bahwa didaerah itu sering ada penampakan tentara belanda. Itu adalah cerita favorit kami karena kakek menceritakan cerita itu dengan penuh semangat dan heroik dan diakhirnya dengan nuansa horor yang membuat kami menjadi tidak penakut.

Ibuselesai melafalkan doa. Kemudian ia mengusap nisan Kakek.

“ Yang perlu kamu tahu. Walaupun kakek dulu galaknya minta ampun. Dia sudah pasti ditengah malam menyelinap kamarmu, kemudian mencium kalian satu persatu seusai tahajud “. Ibu kemudian menepuk bahuku. Dan beliau membawa payung yang aku bawa.

Tak lama tanganku reflek memberikan penghormatan kepadanya. Untuk seseorang yang memotivasiku menjadi Perwira di Angkatan. Tahun ini dengan bangga aku lulus dari Akademi. Berseragam lengkap untuk berkunjung kemakam. Untuk menunjukkan pada kakek bahwa cucunya bisa menjadi seorang yang masih mempunyai cinta untuk tanah airnya. Yang masih mempunyai rasa melanjutkan apa yang kakek dahulu pernah lakukan.

Kudus, 7 Oktober 2011 01:07

Dirgahayu TNI ke66. Viva " NKRI Harga Mati"...

( Ilustrasi dari Kompas.com )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun