Pasca semarak kemerdekaan tahun 1945, Indonesia yang baru saja memulai kehidupan bernegara dihadapi dengan banyaknya tantangan. Salah satunya adalah tantangan di dalam dunia perpolitikan luar negeri. Di mana pada saat itu kekuataan dunia terbagi menjadi dua blok yang diakibatkan oleh Perang Dunia II.
Atas dasar perbedaan ideologi dan kepentingan geopolitik terdapat blok timur yang menganut ideologi komunisme dan dipimpin oleh Uni Soviet, serta terdapat blok barat yang menganut ideologi liberalisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Lantas blok manakah yang menjadi pilihan Indonesia untuk menjadi poros perpolitikan luar negerinya?Â
Dengan gelar negara baru, indonesia mengambil langkah berani dengan tidak memihak salah satu di antara blok timur dan blok barat. Hal ini dinamakan dengan Gerakan Non-Blok (GNB) dan Indonesia menjadi salah satu negara pelopor bersama dengan India, Mesir, Ghana, dan Yugoslavia yang menjadi tuan rumah dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pada tanggal 6 September 1961. GNB seakan menjadi jalan tengah dan aman bagi negara yang ingin menghindari kontroversi di antara blok timur dan blok barat.Â
Menjadi negara yang termasuk ke dalam GNB, Indonesia memiliki prinsip perpolitikan luar negeri yang dinamakan dengan politik bebas aktif. Ide ini pertama kali dicetuskan wakil presiden pada saat itu, Moh. Hatta. Bebas memiliki arti bahwa Indonesia tidak terikat dengan salah satu blok dan bebas menjalin hubungan diplomasi dengan negara manapun untuk kepentingan nasional. Sedangkan aktif di sini memiliki arti bahwa Indonesia memiliki upaya selalu bergerak untuk melakukan perdamaian dunia yang sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 alinea ke-4 yang tertulis "Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial."
Indonesia sebagai pemegang prinsip bebas aktif diharuskan untuk selalu bergerak ketika terdapat konflik di dunia internasional, salah satunya adalah konflik yang terjadi di antara Rusia dan Ukraina pada tahun 2022. Terdapat banyak dampak yang merugikan terkait konflik ini dari berbagai sektor, salah satunya yang paling menonjol adalah sektor ekonomi. Melihat kedua negara yang berkonflik dianggap sebagai 'keranjang roti' yang merupakan negara terbesar pemasok berbagai komoditas utama, baik pangan maupun energi mengakibatkan banyaknya negara mengalami krisis dan kenaikan harga (inflansi).
Adanya blokade kegiatan perekonomian Ukraina yang dilakukan oleh Rusia beserta sanksi-sanksi ekonomi dan politik yang ditujukan kepada Rusia oleh negara-negara blok barat, membuat krisis dan inflansi tak dapat dihindari. Indonesia yang berada di kawasan ASEAN juga mengalami dampak kerugian dari konflik ini. Di mana Indonesia memiliki hubungan diplomasi dan kerjasama perdagangan bersama Rusia dan Ukraina. Salah satu dampak yang dapat dirasakan Indonesia akibat konflik ini adalah dengan adanya inflansi bahan bakar minyak, hal ini membuktikan kekuatan pengaruh Rusia dan Ukraina dalam perekonomian dunia.
Saat seperti inilah yang dapat digunakan Indonesia untuk membuktikan politik luar negeri yang bebas aktif. Dengan tidak hanya diam di pihak netral, namun juga bergerak untuk tetap menjalin hubungan diplomasi di antara kedua negara yang berkonflik. Pada dasarnya politik luar negeri akan selalu berkaitan dengan politik domestik. Adanya inflansi di Indonesia yang disebabkan oleh konflik Rusia dan Ukraina merupakan bukti bahwa politik domestik akan selalu berkaitan dengan politik luar negeri, sehingga Indonesia harus menyelamatkan kepentingan nasionalnya dengan membuat kebijakan luar negeri yang berdasarkan prinsip bebas aktif.
Di tahun yang sama dengan konflik Rusia dan Ukraina, Indonesia menjadi tuan rumah G20 yang merupakan forum kerjasama internasional dalam bidang ekonomi. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk menyukseskannya di tengah krisis dan inflansi yang mengguncang perekonomian dunia. Dengan niat yang diplomatis oleh Presiden Indonesia, Joko Widodo melakukan misi perdamaian untuk konflik Rusia dan Ukraina.
Pada tanggal 27 Juni 2022 melalui kominkasi telepon, Presiden Jokowi berdialog dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky. Presiden Zelensky memberitahu kondisi yang terjadi di negaranya dan meminta bantuan kepada Indonesia, khususnya di bidang persenjataan. Namun, perlu ditekankan bahwa Indonesia merupakan negara yang menerapkan prinsip politik bebas aktif. Dengan itu, Indonesia mengambil langkah bijak untuk menolak secara halus permintaan Ukraina, namun tetap memberikan bantuan kemanusiaan.
Dilanjutkan pada tanggal 29 Juni 2022, Presiden Jokowi secara langsung mendatangi Ukraina untuk misi perdamaian. Indonesia turut prihatin akan kondisi yang terjadi di Ukraina, kemudian menawarkan diri secara langsung untuk menjadi mediator penyelesaian konflik ini. Tidak lupa pula Indonesia mengundang Ukraina untuk hadir menyukseskan G20 di Bali, Indonesia.