Oleh: Agavia Syifa Rivani (1405620085)
Pendidikan Sosiologi A 2020
Pendahuluan
      Awal tahun 2020 dapat dikatakan sebagai awal mula mimpi buruk bagi hampir seluruh negara di belahan dunia. Hal ini dikarenakan munculnya penyakit yang dikenal dengan virus Corona atau Covid-19 (Coronavirus Disease) yang pertama kali diidentifikasi muncul di kota Wuhan, China pada akhir tahun 2019 lalu. Tidak pernah disangka bahwa virus yang menyerang sistem pernapasan ini dengan sangat cepat menyebar ke berbagai negara termasuk Indonesia.
      Sudah dua tahun terakhir pandemi Covid-19 melanda Indonesia, berbagai bentuk kebijakan telah dibuat oleh pemerintah guna mengantisipasi laju penyebaran virus yang nyatanya telah merenggut banyak nyawa ini. Salah satu kebijakan yang dibuat yaitu larangan  orang  berkumpul dan melakukan aktivitas di luar rumah, serta menghimbau masyarakat untuk tetap di dalam rumah, beribadah di rumah, kerja dari rumah, belajar dari rumah. Hal ini dilakukan sebab virus yang berbahaya ini dapat menular kepada orang lain melalui berbagai bentuk kontak fisik, mulai dari sentuhan fisik dan droplet melalui udara, sehingga salah satu cara pencegahannya ialah individu harus terus berusaha untuk menjaga jarak sosial satu sama lain atau melakukan social distancing (Nasrudin dan Haq, 2020; Amalia dan Sa'Adah, 2020:215).
      Adanya kebijakan pemerintah yang membatasi segala ruang publik lantas berdampak pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk pendidikan. Salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi angka positif Covid-19 pada sektor pendidikan adalah arahan untuk melakukan pembelajaran dirumah atau yang diistilahkan sebagai Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Mengutip dari Wulandari dan Agustika (2020:516), Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan bahwa tujuan dikeluarkannya kebijakan pendidikan di masa Pandemi Covid-19 yaitu dengan pertimbangan prioritas kesehatan dan keselamatan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, keluarga, serta masyarakat. Dengan diberlakukannya PJJ ini, bentuk pembelajaran yang mulanya dilaksanakan di ruang kelas secara luring (offline) dengan sebagian besar menggunakan buku kini harus terlaksana secara daring (online) dengan memanfaatkan berbagai teknologi sebagai media penunjang pembelajaran.
      Penggunaan teknologi bagi keberlangsungan proses belajar mengajar di masa pandemi memang menunjang pembelajaran yang lebih efisien dan variatif meskipun hanya dilakukan di rumah. Namun keharusan menggunakan smartphone, laptop, ataupun tablet dengan kuota internet yang awalnya dinilai sebagai tangga keberhasilan pembelajaran daring tidak sepenuhnya memberikan kemudahan bagi pelaksananya, baik siswa, guru, maupun para orang tua. Memang, bagi mereka yang tinggal di perkotaan dan memiliki sarana prasarana yang memadai pasti akan diuntungkan, namun bagaimana dengan mereka yang memiliki keterbatasan dalam segi teknologi? Seperti para siswa yang tinggal di pedesaan atau daerah terpencil yang kesulitan mendapatkan sinyal, maupun bagi siswa yang masih minim pemahaman akan penggunaan teknologi.
      Dalam (Indahri, Yulia. 2020:15) menyebutkan bahwa hasil evaluasi Kemendikbud mengenai kegiatan PJJ selama tiga bulan terakhir, hanya 51% kegiatan PJJ yang berjalan efektif. Masih terdapat berbagai permasalahan karena sejumlah siswa tidak memiliki akses teknologi, keterbatasan alat/gawai, jaringan internet, dan aplikasi/media pembelajaran. Selain itu, permasalahan terjadi karena akses jaringan internet yang tersedia tidak merata, antara daerah maju di perkotaan dan daerah pinggiran.
      Tentu segala keterbatasan dan ketertinggalan yang dihadapi ini nantinya akan berdampak pada keberhasilan proses belajar siswa. Lantas, kendala pada Pembelajaran Jarak jauh (PJJ) ini akhirnya memberikan pertanyaan mengenai bagaimana seharusnya upaya yang tepat untuk menyamaratakan dan memajukan mutu pendidikan di Indonesia, terlebih dalam keadaan melawan pandemi Covid-19 yang hingga kini masih mengintai.
Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dilihat dari perspektif konflik Karl Marx