Banyak pihak yang memaknai bahwa demokrasi sangat identik dengan freedom of speech and freedom of expression. 2 Hal itu bukanlah suatu pemaknaan yang salah. Semenjak era Reformasi pada tahun 1998 mulai digulirkan, bayang-bayang era Orde Baru yang begitu otoriter pun memang jelas memudar. Pembredelan media atau bahkan ancaman terhadap jurnalis menjadi hal yang mutlak harus dienyahkan. Di sini kebebasan begitu lantang disuarakan. Kebebasan ini lantas muncul seiring dengan pertumbuhan media massa di tanah air. Sayangnya perkembangan historis yang ada justru kian menegaskan bahwa makna kebebasan justru menjadi suatu hal yang patut dipertanyakan. Mengapa demikian ?
      Berdasarkan UU No 40 tahun 1999 dikemukakan bahwa salah satu aspek penting kebebasan ialah adanya suatu kemerdekaan pers di dalamnya. Dijelaskan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang demokratis. Sehingga jelaslah bahwa pers merupakan pilar penting berdirinya sistem demokrasi yang bebas dan adil dalam masyatakat.
      Sayangnya posisi pers di Indonesia justru kian terhimpit dengan bayang-bayang kebebasan yang ada. Ketika pers dituntut untuk mampu menjadi sarana pemberi informasi yang faktual serta imparsial, penguasa media justru berfokus pada aspek lain. Bukan menjadi rahasia bahwa aspek tersebut amat identik dengan fenomena komersialisasi media di Indonesia. Pers yang dalam hal ini lebih terfokus pada posisi jurnalis lantas menjadi gamang dan dilema. Ketika disatu sisi ketentuan hitam di atas putih telah terabsahkan, realitas copot jabatan justru menjadi momok terbesar jurnalis dalam melaksanakan peran mereka sesuai perundangan yang berlaku.Â
 Seperti contohnya pasal yang hingga saat ini masih terkesan semu dalam penerapannya, ialah pasal 6e dalam UU No 40 tahun 1999. Di sana dijelaskan bahwa pers nasional berperan memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Realitas sosial yang terbentuk justru jauh berbeda. Seperti misalnya kian maraknya jurnalis atau wartawan bayaran yang lagi-lagi lebih mengedepankan nominal dari pada suatu keadilan dan kebenaran informasi.  Objektivitas pemberitaan tergantikan oleh barang, materi, fasilitas akomodasi, tiket perjalanan, dan lain sebagainya. Dalam hal ini upah jurnalis yang minim disinyalir menjadi faktor utama praktik suap pada jurnalis. Dan lagi-lagi minimnya penghasilan wartawan amat dipengaruhi oleh kebijakan perusahaan media yang menaungi mereka.
Contoh ketidakbebasan pers lainnya ialah ketika masa-masa kampanye terdapat media tertentu yang begitu menonjolkan sisi positif kandidat usungannya. Hal ini seakan menjadi sinergi tersendiri bagi para jurnalis untuk hanya boleh melihat sisi positif dari kandidat usungan pemilik media mereka. Di luar itu segala hal harus terpandang negatif atau minimal pemberitaan lawan kandidat ditampilkan dalam porsi yang begitu setimpang. Jelaslah dalam hal ini terdapat kepentingan industri yang semata-mata tak hanya mengedepankan deadline berita yang harus disajikan bagi publik. Sehingga dapat dikatakan bahwa kemerdekaan pers justru terintervensi dari faktor para pemilik modal di dalamnya.
      Bila kita kembali pada masa Orde Baru ketika jajahan pers justru hadir dalam wujud ketidakbebasan beropini, hal serupa tak jauh beda di era Reformasi. Kemerdekaan dan kebebasan pers terkesan menjadi suatu mitos belaka. Entah kekuatan apa yang dimiliki para konglomerat negeri. Ketika bahkan sebuah kebebasan pun ternyata mampu mereka beli. Dan mirisnya pers sebagai garda depan penyampai informasi pun ternyata masih terpasung dalam sebuah regulasi yang justru mematahkan kebebasan yang mereka miliki. Kemerdekaan berpendapat dan bersuara lantas mandek begitu saja ketika dihadapkan pada realita finansial dan taruhan profesionalitas yang ada. Sebuah ironi yang justru muncul di era demokrasi modern seperti sekarang ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H