Mohon tunggu...
Agatha Putri Fania
Agatha Putri Fania Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA PKN STAN

Suka Berpetualang dan Mencoba Hal Baru

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengerucutan Problematika Tax Avoidance di Indonesia

20 Januari 2024   00:00 Diperbarui: 20 Januari 2024   00:09 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Agatha Putri Fania image

Menurut Undang – Undang KUP Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat 1, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan dan bersifat memaksa berdasarkan undang - undang. Studi mengatakan bahwa rata - rata orang merasa enggan untuk menyetorkan pajak atas apa yang ia miliki ataupun peroleh. Inilah yang menjadi latar belakang terjadinya penghindaran pajak atau tax avoidance.

Penghindaran pajak kerap kali dilakukan oleh beberapa pengusaha di Indonesia, baik pengusaha kecil, menengah, maupun besar. Untuk mendukung usahanya, hal yang biasanya mereka lakukan ialah menggunakan fasilitas pinjaman oleh bank. Selain untuk menambah modal, utang yang diperoleh dari bank ini juga dapat dijadikan sebagai beban usaha. 

Tentunya, hal ini berpengaruh dengan kewajiban pajak yang harus dibayarkan. Dengan canggihnya sistem perpajakan, para pengusaha biasanya mengakali utang usahanya untuk meminimalkan pajak yang terutang. Tindakan tersebut pastinya dapat merugikan penerimaan negara.

Tax avoidance adalah skema menghindari pajak dengan maksud mengurangi beban pajak yang harus dibayarkan dengan cara legal dengan memanfaatkan celah – celah atau kelemahan Undang Undang Ketentuan Umum Perpajakan. Dapat disimpulkan bahwa tax avoidance merupakan upaya meminimalkan pajak dengan tidak meyalahi hal – hal yang ditetapkan di peraturan perpajakan. 

Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Huruf a dalam Undang- Undang Pajak Penghasilan, bunga adalah biaya langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha. Ketika Wajib Pajak menerima pinjaman dengan nominal besar, maka otomatis bunga yang diberikan akan proporsional dengan total pinjaman yang didapat. Lalu, Wajib pajak membebankan bunga pinjaman tadi dalam laporan keuangan. 

Akan tetapi pinjaman tersebut tidak tercatat menambah modal, sehingga penjualan tidak berkembang dan tidak menambah laba. Dengan laba yang kecil, Wajib Pajak dapat menghindari pembebanan pajak yang. Praktek thin capitalization sering digunakan dalam pengelolaan pajak, di mana penguasaha berusaha mengoptimalkan beban bunga yang dapat diklaim sebagai pengurang laba yang dikenai pajak dengan meningkatkan utangnya

Alternatif tax avoidance yang demikian disebut dengan thin capitalization. Thin capitalization adalah kondisi di mana suatu usaha menggunakan proporsi modal pribadi yang relatif kecil dibandingkan dengan utangnya. Dalam konteks ini, "thin" merujuk pada ketebalan atau besar proporsi modal pribadi dalam struktur keuangan usaha yang cenderung tipis atau rendah.

Di Indonesia, regulasi mengenai Thin Capitalization ditegaskan dalam Pasal 18 ayat 1 Undang -Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), yang memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan kebijakan terkait rasio antara utang dan modal perusahaan yang akan digunakan dalam perhitungan pajak. Sebagai tindak lanjutnya, ketentuan besaran rasio ini telah dijelaskan secara rinci dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penetapan Rasio Maksimal Antara Utang dan Modal Perusahaan yakni sebesar 4:1. untuk Penghitungan Pajak Penghasilan.

Pada dasarnya, praktik penghindaran pajak seperti tax avoidance tidak melanggar peraturan yang berlaku, karena praktek yang dilakukan tidak menyalahi peraturan perpajakan, karena benar bahwa dalam Undang - Undang Perpajakan bunga utang dikategorikan sebagai beban usaha yang tidak masuk dalam kalkulasi pajak yang harus dibayarkan. Akan tetapi, kasus ini mengambil celah UU KUP yang sebelumnya tidak menetapkan besaran terkait proporsi modal dan utang.  Walau sebelumnya tidak menyalahi, tetapi tetap saja merugikan negara karena mengurangi penerimaan yang seharusnya negara terima.

Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan ketentuan anti penghindaran pajak, yang terdiri dari dua jenis, yakni Specific Anti Avoidance Rule (SAAR) dan General Anti Avoidance Rule (GAAR). SAAR mencakup transaksi tertentu seperti transfer pricing, thin capitalization, treaty shopping, dan controlled foreign corporation. Sementara GAAR berfokus pada mencegah transaksi yang dilakukan semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak atau yang tidak memiliki substansi bisnis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun