Salah satu ciri umum dari tindak kejahatan yakni tidak terlepas dari penggunaan bahasa, baik dari sisi pelaku, korban, maupun saksi. Dalam dunia kriminologi, disiplin forensik linguistik memegang peranan penting sebagai alat analisis dalam upaya menganalisis kasus melalui penggunaan bahasa (Sawirman, Hadi dan Yusdi, 2014). Forensik linguistik mencakup berbagai teknik analisis bahasa untuk mengidentifikasi penulis teks tertentu, mengungkap pola komunikasi, dan bahkan menentukan karakteristik sosial dan motif pelaku kejahatan (Warami, 2019).
Linguistik forensik merupakan persilangan antara bahasa, kejahatan, dan hukum yang melibatkan aparat penegak hukum, urusan pengadilan, legislasi, perseteruan di pengadilan, dan sebagainya. Dengan adanya linguistik forensik, perkara hukum yang ditimbulkan oleh bahasa dapat lebih mudah ditangani. Salah satu yang dianalisis dalam ilmu forensik linguistik yakni mengidentifikasi suatu tulisan melalui analisis tata bahasa, kosakata, dan gaya penulisan. Dengan mengamati keunikan bahasa seseorang, forensik linguistik dapat membantu penyidik untuk menentukan siapa yang berada di balik teks atau catatan tertentu.Â
Sebagai sistem semiotika sosial, bahasa merupakan tanda yang dibagi secara sosial. Moda bahasa dapat berupa lisan (bunyi bahasa) atau tulisan (ejaan dan tanda baca). Dalam penyampaian tanda, bahasa dapat dikombinasikan dengan tanda bermoda lain, misalnya visual (gambar dan video) (Maudisha, 2022). Moda-moda ini dapat disatukan untuk menyampaikan makna. Kombinasi moda (multimodalitas) inilah yang dapat dijadikan data dalam analisis linguistik forensik (teks forensik). Teks ini berimplikasi pada konteks hukum dan konteks kriminal.
Forensik linguistik juga digunakan untuk menganalisis keterangan saksi dan pengakuan. Demikian, dalam tingkat investigasi yang dilakukan oleh penyidik hingga  proses pengadilan di mana pengacara, jaksa, dan hakim, tidak terlepas dari  praktek bahasa yang berkembang hingga memiliki pola-pola praktek bahasanya sendiri. Mengutip dari Gerald R. Mc. Menamin dalam buku Forensic Linguistics: Advances in Forensic Stylistics (2001) menegaskan bahwa gaya bahasa merupakan refleksi dari variasi-variasi kebahasaan personal, kelompok, dan masyarakat tertentu.
Berdasarkan peranan bahasa ini linguistik sebagai bidang ilmu yang menjadikan fenomena dan kasus kebahasaan sebagai objek materialnya bisa dibawa dan diberdayakan ke ranah hukum, baik di tataran analisis dan investigasi kejahatan maupun proses pengadilan. Pengembangan beragam konsep linguistik untuk membantu investigasi kejahatan diwadahi oleh bidang linguistik forensik. McMenamin (2001) menjelaskan definisi linguistik forensik sebagai studi scientific (ilmiah) keilmuan linguistik yang diterapkan untuk tujuan dan konteks forensik.
Dalam kasus percobaan, forensik linguistik dapat membantu dalam mengungkap pola komunikasi yang mungkin terkait dengan kejahatan. Analisis percakapan, pesan teks, atau surat dapat mengungkapkan hubungan antar pihak yang terlibat atau motif di balik suatu kejadian kriminal.
Penelitian mendalam terhadap pilihan kata, struktur kalimat, dan ekspresi dapat membantu menentukan kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu pernyataan. Forensik linguistik juga dapat membantu dalam membuat profil psikolinguistik penjahat. Analisis bahasa dapat mengungkap karakteristik kepribadian, tingkat pendidikan, atau latar belakang sosial penulis, membantu penyidik dalam mengidentifikasi dan menangkap pelaku kejahatan.Â
Menurut Olsson (2008), fungsi awal dari studi linguistik forensik adalah sebagai alat bantu investigasi untuk menganalisis pernyataan dan pengakuan dari saksi dan terdakwa. Seiring waktu, bidang ini berkembang hingga mencakup studi analisis teks terorisme dalam kasus terorisme, serta analisis teks SMS dalam komunikasi seluler untuk menentukan waktu kematian. Dalam konteks ini, berbagai penjelasan dari ahli dan praktisi linguistik forensik di Eropa dan Amerika cenderung fokus pada dimensi taktis analisis, seperti proses identifikasi.
Penyelidikan dalam linguistik forensik umumnya melibatkan berbagai tahapan yang sesuai dengan tingkat kajian linguistik. Namun, kompleksitas fakta di lapangan menuntut analis linguistik forensik untuk tidak terpaku pada satu tahap linguistik saja. Mereka diharapkan dapat mengkombinasikan berbagai bidang dan tahap linguistik secara bersamaan, kohesif, heuristik, dan komprehensif. Proses ini melibatkan sejumlah aspek, mulai dari level fonetik, fonemik, morfemik, morfofonemik, intonasi, pitch, tekanan suku kata, konstruksi kata, kategori menengah, frasa, klausa sederhana dan kompleks, makna semantis, pragmatik, hingga wacana (Maemunah, 2014).Â
Menurut Olsson (dalam Susanto dan Nanda, 2020) forensik linguistik juga mengulas konsep studi fonetik forensik dan peranannya dalam analisis kondisi korban, saksi, dan pelaku ketika menggunakan bahasa. Sebagai contoh, pernyataan pelaku dapat mencerminkan pengaruh alkohol atau obat-obatan tertentu yang mempengaruhi stabilitas produksi bahasa secara fonologis. Dengan demikian, semua konsep linguistik dapat dimanfaatkan tergantung pada jenis kejahatan dan kebutuhan investigasi yang ada. Langkah awal dalam penyelidikan adalah mengidentifikasi hubungan antara pola-pola linguistik bahasa dengan modus operandi, motif, dan orientasi kejahatan.
Dalam situasi di mana tidak ada jejak fisik yang jelas, forensik linguistik memberikan alternatif untuk menyelidiki dan memecahkan kasus. Penggunaan teknologi dan algoritma dalam forensik linguistik dapat meningkatkan akurasi dan efisiensi dalam mengidentifikasi informasi yang relevan dari sejumlah besar data teks. Dengan perkembangan teknologi dan metode analisis yang terus berkembang, forensik linguistik semakin menjadi alat penting dalam membantu penyidikan kriminal. Dengan memahami bahasa sebagai bukti kunci, para ahli forensik linguistik dapat membuka pintu kebenaran dan menjaga keadilan dalam sistem hukum.