Setiap pagi, suara khas sepeda butut Pak Slamet selalu jadi alarm tambahan di gang rumahku. Bukan suara belnya yang nyaring atau klakson unik seperti di sepeda anak kecil, tapi bunyi "kreket-kreket" rantai yang kering dan sesekali diiringi suara gemeretak keranjang dagangannya yang beradu dengan jalanan.
Sepeda itu, kalau dipikir-pikir, adalah benda ajaib. Sudah lebih tua dari sebagian anak muda di kampung ini, tapi tetap setia menemani pemiliknya berkeliling menjajakan sayur-mayur. Rodanya miring ke kanan sedikit, sadelnya sudah robek di sana-sini, dan kalau diperhatikan lebih dekat, banyak bagian yang sudah diikat pakai kawat atau tambang plastik.
Tapi begitulah, sepeda ini bukan sekadar alat transportasi bagi Pak Slamet. Sepeda ini adalah sahabat perjuangan, kendaraan penghidupan, dan kalau boleh agak berlebihan mungkin juga satu-satunya benda yang paling memahami susah senangnya hidup Pak Slamet.
Pak Slamet: Pedagang Sayur dengan Senyum Abadi
Pak Slamet bukan orang kaya. Rumahnya kecil di ujung gang, berdempetan dengan rumah-rumah lain yang hanya dipisahkan oleh tembok tipis. Kalau ada yang bersin di rumah sebelah, bisa kedengaran jelas sampai rumahnya. Tapi, di tengah kesederhanaan itu, beliau punya sesuatu yang jarang dimiliki banyak orang: ketulusan dan semangat baja.
Setiap hari, sebelum ayam sempat bermimpi buruk, Pak Slamet sudah bangun. Sekitar jam tiga pagi, beliau sudah ada di pasar untuk kulakan sayur. Sayur-sayur segar yang baru diturunkan dari truk atau dipetik langsung dari kebun petani dipilih satu per satu. Kangkung yang masih segar, cabai merah yang belum layu, dan tomat yang belum kebanyakan disentuh orang.
Lalu, setelah semua dipilah, beliau menyusunnya di atas sepeda dengan ketelitian seorang seniman. Sisi kanan untuk daun-daunan, sisi kiri buat bumbu dapur, bagian belakang diisi cabai, bawang, dan aneka kebutuhan pokok lain. Jangan tanya bagaimana cara beliau menyeimbangkan semua itu di atas sepeda yang sudah uzur. Tapi entah bagaimana, setiap pagi, beliau sukses mengayuhnya dengan penuh percaya diri.
Pelanggan Setia: Ibu-Ibu yang Selalu Setia Menanti
Begitu sampai di kampung, para ibu-ibu sudah menunggu. Ada yang masih pakai daster dengan rambut dicepol asal-asalan, ada yang baru selesai menyapu halaman, ada juga yang masih ngantuk tapi langsung segar begitu melihat dagangan Pak Slamet.
"Nggak bawa pete hari ini, Pak?" tanya Bu Ratih, pelanggan setia yang selalu beli minimal sekantong cabai setiap hari.
Pak Slamet terkekeh. "Kemarin mahal, Bu. Nggak enak kalau saya jual kemahalan. Mending ibu beli di pasar sekalian."