Tahun 2013 merupakan tahun yang bersejarah bagi saya, bersejarah bagi hidup saya. Saya terpilih menjadi salah satu peneliti yang bisa datang ke Bintuni. Sebuah pulau kecil di Papua Barat. Saya datang ke Otoweri bagian dari Bintuni, tepatnya Otoweri, Bomberay, Kabupaten Fak-Fak, papua Barat.Otoweri sebuah pulau kecil yang penuh dengan sapi. Sebagian besar penduduknya memeluk agama Islam. Agak mengagetkan menurut saya, karena sebagian penduduk Papua banyak yang menganut agama Nasrani. Otoweri dengan jumlah hanya sekitar kurang lebih 60 kepala keluarga saja merupakan pulau yang jauh dari akses pendidikan. Tidak ada akses sinyal selular yang masuk ke Otoweri. Pulau ini dikelilingi hutan bakau, rawa, dan laut lepas. Karena letak geografis Otoweri sulit bagi penduduk Otoweri untuk mendapatkan bahan makanan lain selain ikan dan udang. Beras harus diangkut dari kota, sulitnya mendapatkan sayur mayur membuat warga Otoweri berinisiatif untuk menanam bayam dan kangkung.
Hanya ada 1 sekolah dasar di Otoweri. Kelas 1 hingga kelas 6 SD hanya diampu oleh 1 guru saja. Atas inisiatif dari salah satu teman di tim saya saat itu dan permintaan spontan dari Ibu Ida guru satu-satunya di sekolah itu. Saya dan beberapa teman mulai membagi-bagi kelas. Kemudian mulai mengajar. Saya mengajar Bahasa Inggris kelas 4, 5, dan 6. Saya berpikir pada saat itu jika saya mengajar anak-anak kelas, 1, 2, dan 3 saya tidak yakin bisa. Mengingat mereka masih kecil-kecil. Saya sadar diri bahwasaya kurang sabar menghadapi anak-anak kecil yang mudah bosan dan menangis. Ada sekitar 15 anak terkumpul dari kelas 4, 5, dan 6. Saya benar-benar mengajarkan Bahasa Inggris mulai dari dasar. Mulai dari menghafalkan huruf A hingga Z, nama-nama hari dalam Bahasa Inggris, dan cara memperkenalkan diri dalam Bahas Inggris. Mereka nampak antusias. Saya tidak terpikir sama sekali saya bisa mengajar anak-anak, apalagi mengajar anak-anak di pedalaman. Saya tidak ada latar belakang dari sekolah keguruan sama sekali. Materi yang saya ajarkan saat itu berdasarkan keinginan anak-anak dan saya mengandalkan kepekaan saya melihat mengenai apa yang perlu mereka pelajari.
Hal yang mengharukan bagi saya adalah ketika salah satu anak mengatakan ingin agar saya tinggal lebih lama di Otoweri. Saya tidak mengatakan bahwa jika penelitian saya dan tim selesai kami akan berpindah ke pulau lain. Itu artinya saya tidak bisa lagi mengajar mereka. Hati saya terlampau tidak tega mengatakannya. Entah berapa lama mereka menunggu guru yang datang untuk mengajar mereka. Mereka selalu bersemangat ke sekolah. Tetapi karena terbatasnya guru, tidak jarang mereka pulang kembali ke rumah karena tidak ada mata pelajaran, atau Bu Ida tidak cukup waktu untuk mengajar mereka. Hal ini membuat hati saya patah berkeping-keping. Di tempat saya tinggal di Yogyakarta, banyak memiliki guru yang berlebih. Mengapa Otoweri tidak tersentuh? Pertanyaan-pertanyaan ini menimbulkan asumsi di kepala saya.
Indonesia sebuah negara kepulauan, bukan hal yang mustahil jika ada banyak pulau yang tak terjamah pembangunan. Mengajar di pedalaman bagi saya meningkatkan jiwa sosial saya. Semangat juang saya bertambah manakala melihat anak-anak itu begitu bersemangat belajar. Rasa syukur saya bertambah lebih banyak. Terkadang saya masih mengeluh mengenai fasilitas sekolah yang ada di Jawa. Tapi mengenal mereka membuat saya sungguh-sungguh tertampar. Kemampuan adaptasi yang tinggi dari mereka membuat saya mengerti arti hidup yang sebenarnya. Bukan mereka yang belajar dari saya. Tapi sayalah yang belajar dari ketegaran mereka. Salam cinta untuk Rosita, Zaenab, Ahmad, Fandi, dan murid-murid kecilku yang mungkin kini telah beranjak besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H