[caption id="attachment_265750" align="alignnone" width="500" caption="Foto dokumentasi pribadi"][/caption] Tubuhnya kurus, seperti tulang yang hanya dibungkus kulit. Akan tetapi wajahnya tampan, kulitnya kuning bersih dan andaikata ia lebih berisi sedikit, kurasa mungkin ada miripnya dengan Iwan Fals.
Munnawar, demikian namanya, dikenal sebagai ahli agama, dulu kuingat pernah beberapa kali khotbah Jumat di masjid. Memang pengetahuan agamanya tak sembarang. Sesuai ceritanya memang ia lulusan pesantren. Dan beberapa teman mengatakan bahwa ia masih keturunan Syekh. Akan tetapi kegiatan khotbah Jumat itu tidak lama ia lakukan, menurutnya hobinya membeli nomor buntut seharusnya tidak menjadikannya khatib. Soal nomor buntut ini ia berhasil menciptakan sebuah mal atau template berupa kertas kardus yang dilubangi dengan pola tertentu lalu dipasangkan di atas grafik angka-angka yang telah keluar sebelumnya.
Soal wanita ia mengaku jago. Sering pada malam-malam yang hening di kontrakannya, ia bercerita banyak padaku soal masa mudanya. Bagaimana wanita-wanita yang pernah dipacarinya dulu. Menurutnya, istrinya adalah pacarnya yang nomor 33. Pernah menyatakan cinta pada 7 wanita sekaligus dan semua diterima. Pernah kos tanpa membayar, malah selalu diantarkan makanan karena ibu kosnya naksir. Pernah bermain mata dengan seorang gadis di stasiun kereta api, lalu gadis itu minta dinikahi begitu saja padahal disitu ada ibunya.
Soal gadis-gadis ini, ia bercerita soal ilmu khusus yang dimilikinya. Ada banyak dan berupa-rupa ritualnya. Ada yang cukup membaca ayat sebelum tidur, yang ditiupkan ke dalam amplop surat lalu dikirimkan pada si gadis yang ditaksir, sampai yang agak ruwet dengan menanak nasi pada saat bulan purnama. Kawan-kawanku begitu getol minta jimat soal cewek ini pada Munnawar untuk mengambil hati gadis pujaan yang ditaksirnya habis-habisan sejak SD, tapi tak pernah dikasih.
“Kau suka gadis kecil itu,” ucapnya santai malam itu, saat aku memelototi sinetron remaja di televisi.
“He he he,”
“Dia akan mengingatmu,”
“Bagaimana bisa?”
“Pokoknya kalau nanti ketemu, dia akan merasa pernah melihatmu, tapi kapan dan dimana dia lupa,”
Munnawwar mencoret-coret sesuatu di halaman buku tulis yang menjadi kitab membuat rumus nomor buntutnya, merobeknya, lalu memberikannya padaku. “Bacalah tiga kali di malam Jumat,” katanya, “Ia akan memimpikanmu,”.
Kertas itu kumal, dan tulisannya tipis dalam aksara Arab gundul. Bertahun-tahun kusimpan potongan kertas itu dalam dompetku, dan sudah tiga kali kupergunakan. Ketiga gadis cantik itu terbelalak, lalu menolakku mentah-mentah. Sampai saat ini aku yakin ada yang salah waktu aku membacanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H