Mohon tunggu...
Humaniora

Tergusurnya Ibukota Kebudayaan dari Hatiku

22 Februari 2016   12:17 Diperbarui: 22 Februari 2016   12:51 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat ini mendengar kata jogja menimbulkan sensasi luar biasa bagiku yang pernah sekolah dan kuliah di sana dan kini terhempas nasib di sudut ibukota republik ini. Sejak tahun 1988 hingga 1998, praktis waktuku banyak menetap di jogja, menyusuri jalan-jalannya, makan di warung-warungnya, dan bersenandung bersama irama budayanya yang khas dan hangat. 15 tahun di Jakarta tetap membuatku merasa menjadi bagian dari Jogja-ku. Apalagi hampir tiap hari bertegur sapa dengan teman SMA dan rekan kuliah di grup wa yang obrolannya sangat ‘Jogja’.

Masa di jogja adalah masa pembentukan identitasku. Sub-kulturnya yang kuat bertahan di tengah upaya mengakomodasi para pendatang yang sekolah, bekerja, dan berwisata ke sana. Identitas kulturalnya yang kental tidak menjadikan jogja ‘sangar’ atau resisten bagi budaya saudara-saudaranya yang beragam. Tak terkecuali bagi pelajar dan mahasiswa yang datang dari Aceh dan Papua. Dua ujung negeri yang terkadang dilanda sentimen ‘anti Jawa’ itu bisa saling menyapa dalam harmoni Jogja.

Tapi harus kuakui ada sesuatu yang sangat mengganggu. Serasa aku kehilangan Jogja dan separuh jiwaku manakala bertandang untuk menengok saudara atau berwisata mengenalkan Jogja pada anak-anakku. Suasana jiwa itu terpinggirkan oleh denyut aktivitas ‘pembangunan’ yang menafikan ‘pembangunan’ yang lain. Secara fisik semakin padatlah Jogja dengan beton berkarakter angkuh dan apatis pada apapun yang ada di sekitarnya. Investasi terus merangsek dan menenggelamkan investasi yang sesungguhnya sangat bernilai, yaitu budaya.

Bagiku Jogja adalah ibukota kebudayaan. Yang bisa menyelamatkan identitas kultural Indonesia. Investasi bernilai tinggi jangan sampai tegusur oleh investasi yang seakan menguntungkan namun sungguh teramat merugikan. Lalu dimanakah akal sehat kita, membiayai kerusakan dengan biaya tinggi? Dan berinvestasi hanya untuk menenggelamkan identitas kita sendiri? Semoga harmoni masih bisa tumbuh di tengah geliat ekonomi...salam Jogja.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun