Mohon tunggu...
Gaya Hidup

You are What You Wear: Fashion dalam Tinjauan Historiografi

12 November 2016   00:10 Diperbarui: 12 November 2016   01:33 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Perjalanan historis masyarakat modern dimulai sejak perkembangan industri di Inggris yang kemudian bertransisi pada perkembangan masyarakat konsumsi. Perjalan panjang tersebut menjadikan karakter masyarakat yang awalnya merupakan masyarakat agraris lalu perlahan menjadi industri dan sekarang menjelma sebagai masyarakat konsumsi. Para akademisi menyebutnya sebagai consumer culture society. Gradasi inilah yang kemudian mengubah arah pandangan masyarakat di bidang sosial, politik, juga ekonomi. Masyarakat yang modern sudah tidak hanya sekedar menjadi modern. Mereka ini yang disebut masyarakat pascamodern.

Dalam masyarakat pascamodern, konsumsi juga mengalami perubahan, yang awalnya mengonsumsi produk kemudian mengonsumsi citra. Salah satu produk yang memiliki banyak nilai citra adalah pakaian. Orang-orang sering menyebutnya dengan fashion. Sesederhana seperti ungkapan, “You are what you wear” (Kamu adalah apa kamu yang kenakan). Ungkapan inilah yang menjadi penanda atas lahirnya budaya pascamodern, budaya pencitraan, di mana produk tidak lagi sepenting kemasannya.

Fesyen lebih identik dengan sebagai terminologi umum atas gaya populer yang sedang trend, terutama pada pakaian (clothing) atau kostum. Sebetulnya ada salah kaprah yang terjadi hingga kini tentang pemahaman terhadap fashion. Fashion bukanlah sekedar pakaian secara keseluruhan ataupun studi tentang pakaian. Fashion dan pakaian dapat dijelaskan sebagai fenomena kultural sekaligus sebagai fenomena komunikatif dalam pembahasaannya tentang bagaimana cara memunculkan dan mengkomunikasikannya, juga tingkatan makna yang berbeda lewat fesyen dan pakaian tersebut. Fesyen jugalah perjalanan historis atas pakaian.

Di dalam cultural studies, fashion adalah praktik reproduktif, sebagai aktivitas mengkonstruksi dan mereproduksi identitas-identitas kelas serta identitas yang ada dalam masyarakat. Fashion juga memandang kelas dan gender sebagai cara mengonstruksi dan mereproduksi lingkungan hidup sosial kebudayaan manusia. Pemikiran Karl Marx mengenai ekonomi politik dalam kelas sosial yang terjadi di konteks masyarakat Eropa, digunakan untuk melihat fashion sebagai sebuah fenomena kultural. Kelas sosial ini didefinisikan dalam artian relasi manusia dengan sarana produksi dalam tiap cara berbeda; bagaimana relasi seseorang dengan sarana atau kekuatan produksi menentukan kelas sosial tempat orang itu berada. 

Fashion adalah sebuah hal yang akan amat sederhana untuk mengemukakan begitu banyak ide. Pakaian bisa menjadi identitas gender secara lebih aktif, bagi pria atau perempuan, di sepanjang abad ke-19. Hal ini juga yang membuat fashion dimaknai secara beragam. Pria dan wanita melihat fashion sebagai representasi kelas. fashion yang satu akan menunjukkan perbedaannya dengan fashion lainnya, tergantung kelas yang membalutnya. Tak hanya kelas, ia juga merupakan sebuah identifikasi gender.

Ada beberapa poin yang ingin saya garisbawahi di artikel ini, terkait masalah sosial politik ekonomi. Bahwa mengapa pada jaman itu (abad ke-19) fashion harus betul-betul menjadi pembeda antar kelas? Meskipun sampai dengan hari ini pun saya pikir masih begitu. Sedemikian besarkah gengsi antar kelas sehingga para bangsawan tidak mau disamakan dengan kelas buruh atau pekerja, sehingga harus benar-benar membedakan dirinya dengan yang lain. Lalu ada konflik kepentingan yang muncul di antara mereka, misalnya, saat kaum borjuis yang berkepentingan mengambil untung dari kelas buruh, dan kelas buruh berkepentingan mengambil untung dari tenaganya sendiri. 

Dalam perspektif marxisme, hanya buruhlah yang menghasilkan kemakmuran, dan oleh karenanya, dalam kapitalisme, kemakmuran dihasilkan oleh tenaga kelas pekerja. Kaum borjuis menguras tenaga kelas pekerja demi kepentingan mereka. Pada tulisan ini, industri garmen-lah yang menjadi tolok operasional, tentang bagaimana kapitalisme bekerja. Bagaimana kapitalisme memproduksi kelas sosial, kemudian membuatnya sebagai pembeda antara fashion dan pakaian kelas borjuis dan kelas pekerja. (AP)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun