Mohon tunggu...
Agam Imam Pratama
Agam Imam Pratama Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

#Penikmat_Kopi #Kabid_Hukum_dan_HAM_MPBPJS_Jateng-DIY #Petani_Kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jaminan Hari Tua atau Tabungan Sementara?

23 Mei 2016   16:12 Diperbarui: 23 Mei 2016   22:38 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada bulan-bulan akhir tahun 2015 lalu, publik sempat diramaikan dengan kontroversi mengenai program Jaminan Hari Tua yang digulirkan pemerintah melalui BPJS Ketenagakerjaan. PP No.46 Tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua (JHT) sempat menuai kontroversi. Pasalnya dana Jaminan Hari Tua ini baru bisa diambil atau dicairkan setelah 10 tahun masa kepesertaan dan batas pencairan maksimal 10%, sisanya bisa diambil ketika memasuki usia 56 tahun yakni usia tidak produktif.

Ujung dari kontroversi ini adalah direvisinya PP No. 46 Tahun 2015 menjadi PP No. 60 Tahun 2015. Inti revisi terletak pada pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) yang dapat dilakukan pekerja yang berhenti kerja, baik itu karena pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun atas kemauan sendiri, tak perlu menunggu 10 tahun atau setelah umur pensiun (56 tahun), hanya perlu menunggu satu bulan setelah berhenti bekerja. JHT juga dapat dicairkan saat masih aktif bekerja, dengan catatan setelah 10 tahun masa kepesertaan dan maksimal 30% untuk kepemilikan rumah atau maksimal 10% untuk keperluan lain.

Imbas dari peraturan baru ini salah satunya adalah meningkatnya trend penarikan uang Jaminan Hari Tua (JHT) seiring dengan meningkatnya PHK di perusahaan-perusahaan. Bahkan sepanjang tahun 2015 saja tercatat Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) mengeluarkan dana antara 25 hingga 30 triliun untuk penarikan Jaminan Hari Tua (JHT) ini. Belum lagi bila dihitung sampai pertengahan tahun ini. Memang para tenaga kerja penarik Jaminan Hari Tua (JHT) ini tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya, namun lebih kepada usaha dan komitmen pemerintah dan pihak-pihak lain dalam pengendalian PHK. Namun penulis mencatat dan menggarisbawahi beberapa hal yang menjadi penting dan patut untuk dijadikan bahan pertimbangan.

Pertama adalah peraturan pemerintah yang baru hasil revisi ini pada akhirnya menjadi tidak sejalan dengan konsep “jaminan hari tua”. Dimana spirit yang diusung oleh konsep “jaminan hari tua” dimaksudkan untuk menjamin tenaga kerja di masa tuanya yakni di usia tidak produktif yakni 56 tahun ke atas untuk tetap dapat hidup layak. Pun peraturan pemerintah ini pada akhirnya dapat dibilang bertentangan dengan amanah Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang salah satu isinya adalah usia kerja yakni usia 15 tahun sampai 64 tahun, dimana pada usia tersebut dianggap masih mampu menghasilkan barang dan jasa baik untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri maupun masyarakat.

Kedua adalah perlu adanya upaya merubah mindset masyarakat akan pentingnya Jaminan Hari Tua (JHT). Dimana tidak ada yang bisa menjamin akan menjadi bagaimana seseorang di masa tuanya. Dengan adanya “Jaminan Hari Tua” setidaknya ada jaminan masih ada tempat bergantung bagi seseorang di masa tuanya, apalagi di jaman yang serba tak pasti ini. Yang menjadi soal adalah masyarakat kita dewasa ini masih jarang dan sulit untuk diajak berpikir jangka panjang, seperti keterjaminan masa tua misalnya. Pada akhirnya Peraturan Pemerintah hasil revisi No. 60 Tahun 2015 yang demikian longgar dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek semata. 

Yang perlu dicatat, toh bila pada akhirnya seorang tenaga kerja terkena PHK dan kemudian mencari pekerjaan baru, Jaminan Hari Tua (JHT) nya masih tetap utuh berlaku sebagai simpanan masa tua dan masih dapat dilanjutkan di pekerjaan yang baru, tidak serta merta hilang atau hangus. Selain masyarakat yang dalam hal ini adalah tenaga kerja, juga perlu adanya kesadaran dari pemberi kerja (perusahaan) akan pentingnya Jaminan Hari Tua (JHT) bagi karyawannya. Ini mengingat sepengamatan penulis masih banyak perusahaan yang belum mendaftarkan JHT untuk karyawannya.

Ketiga, baik disadari atau tidak, penarikan Jaminan Hari Tua (JHT) secara berbondong-bondong berpengaruh terhadap kondisi perekonomian negara. Pasalnya, penarikan Jaminan Hari Tua (JHT) secara besar-besaran dapat mempengaruhi internal perusahaan dan iklim investasi. Misalnya dana Jaminan Hari Tua (JHT) yang disimpan di bank, tentunya digunakan kembali untuk kepentingan investasi dan lain-lain. Bila uang tersebut diambil dalam jumlah besar, pada akhirnya akan menghasilkan multiplier effect yang tentunya juga akan mempengaruhi perekonomian negara. Melihat hal ini tentu harus ada upaya ekstra baik dari pemerintah, perusahaan dan masyarakat tentunya untuk mengendalikan jumlah PHK dan juga jumlah penarikan Jaminan Hari Tua (JHT) untuk kebutuhan-kebutuhan jangka pendek dan tidak mendesak.

Pada akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis mengajak pembaca untuk bersama kita cari jalan keluar semua persoalan ini, baik yang sudah dikemukakan di atas ataupun yang masih luput dari pikiran dan pengelihatan penulis. Tentunya segala upaya dari siapapun dan sekecil apapun pada akhirnya akan membawa kehidupan berbangsa dan bernegara dalam hal ini khususnya di sektor ketenagakerjaan ke arah yang lebih baik.

*Penulis adalah Kepala Bidang Hukum dan Advokasi Masyarakat Peduli Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (MPBPJS) Korwil Jateng - DIY

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun