Mohon tunggu...
Agam Imam Pratama
Agam Imam Pratama Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

#Penikmat_Kopi #Kabid_Hukum_dan_HAM_MPBPJS_Jateng-DIY #Petani_Kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Komodifikasi Kemiskinan Dalam Media

24 Juni 2013   22:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:29 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dunia berkembang secara dinamis, terus berubah tanpa ada yang bisa mengontrol gerak lajunya. Perkembangan yang dimaksud kini memasuki era di mana dunia terasa menjadi semakin kecil, dunia menjadi sebuah desa global, di mana segala macam informasi, modal, dan kebudayaan bergerak secara cepat, tanpa halangan batas-batas kedaulatan. Kemajuan tersebut dinamakan sebagai globalisasi. Banyak orang melihat secara optimis kapitalisme global yang bernaung di bawah globalisasi, menganggapnya sebagai tatanan yang menyatukan segala masyarakat dalam berperang melawan kemiskinan dan kemelaratan.

Optimisme yang berlebihan tersebut ternyata berbenturan dengan kenyataan dalam masyarakat dewasa ini, di mana jurang pemisah antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin semakin besar. Dunia terbagi dalam kutub negara-negara kaya dan pemodal di sisi utara dan kutub negara miskin dan peminjam modal di sisi selatan. Pada dirinya sendiri, tatanan dunia penuh dengan ketimpangan. Kemajuan yang didengungkan tidak bisa secara merata dinikmati oleh semua orang. Selain itu, dengan dunia yang semakin disatukan oleh berbagai kemajuan teknologi dan pasar bebas, terdapat kecenderungan berkembangnya masyarakat konsumen. Pasar membutuhkan dan menciptakan masyarakat seperti ini untuk dijadikan sapi perahannya.

Dengan kemajuan di bidang komunikasi yang kelihatannya bisa menghapus segala perbedaan dalam masyarakat dunia, ternyata globalisasi gagal membuat masyarakat bersatu dalam satu solidaritas yang lebih besar dari sebelumnya. Dalam perspektif ini homogenisasi globalisasi dilihat sebagai ilusi. Dunia yang disatukan adalah ilusi terbesar globalisasi, karena yang terjadi khususnya pada manusia adalah kebalikannya. Alih-alih menciptakan dunia yang satu, globalisasi malah menciptakan manusia-manusia yang terfragmentasi. Secara fisik, tampaknya dunia semakin bersatu, homogen dengan payung globalisasi. Akan tetapi dunia yang homogen itu tidak termasuk kemanusiaan. Dalam bidang ekonomi, kapitalisme global yang bernaung di bawah globalisasi telah memisahkan manusia dalam jurang perbedaan yang sangat signifikan, antara si miskin dan si kaya atau antara orang utara atau barat sebagai pemodal yang kaya raya dengan orang selatan atau timur sebagai para buruh kasar yang miskin.

Kapitalisme sebagai anak globalisasi dapat terus menyesuaikan diri dan saat ini merambah ke berbagai segi kehidupan, tak ketinggalan adalah media khususnya media elektronik. Media elektronik yang merupakan konsekuensi dari modernitas dan globalisasi ini saat ini dijadikan salah satu wahana baru untuk mengeruk keuntungan oleh para kapitalis-kapitalis baik nasional maupun internasional. Coba kita lihat saat ini berapa banyak tayangan yang tidak mendidik, memuat pornografi, serta hal-hal buruk lainnya. Bahkan yang lebih miris adalah bagaimana media menjual kemiskinan (komodifikasi) untuk mengejar rating dan mengeruk keuntungan.

Sejak kemunculannya di abad ke-19sampai hari ini, di tengah persaingannya dengan internet dan media baru lainnya, televisi tetap muncul sebagai media massa yang digemari. Sayangnya dewasa ini media khususnya televisi semakin mengindustrial, dengan sifat komersialisasi yang menyertainya dan menjadikan informasi sebagai komoditas. Dengan karakter semacam itu, media, terutama televisi, membuat dirinya bisa dinikmati olehsemua anggota publik. Ia akan membuat program-programnya dengan standar selera terendah. Itulah budaya massa, budaya yang menghibur, budaya yang miskin makna, miskin estetika. Terjadi homogenisasi cita rasadan selera, tidak ada diskriminasi dan hirarki secara budaya.

Fenomena lain yang bisa dicatat adalah para produser televisi membuat program selalu dalam format tontonan.Ini terjadi di hampir semua program, mulai dari program berita, sinetron, sampai ke programreality show.Dalam program berita, konflik kekerasan akan ditonjolkan karena kekerasan, misalnya saling lempar batu dalam tawuran, ini adalah tontonan. Dalam sinetron, konflik kekerasan juga yang paling ditonjolkan. Agar terjadi konflik, di sinetron hanya ada dua sifat ekstrem manusia yaitu sangat baik dan sangat jahat.

Pada program realitas, ada dua karakter yang bisa dibaca, yakni kegembiraan dan kesedihan. Yang berkarakter kegembiraan bertujuanuntuk menghibur,contohnya programtayanganDahsyat(RCTI), sementara yang berkarakter kesedihan dan mengeksploitasi perasaan pemirsa sehingga muncul simpati misalnya Bedah Rumah, Catatan Si Olga, dan program lain yang sejenis. Kedua karakter ini menjadi “ekstrem”, di satu sisi sangat menghibur dan di sisi lain sangat mengharukankarena didramatisasi.Tentu saja bagi para kapitalis media, membuat program dalam format tontonan ini menjadi penting sebab masyarakat menyukai ini dan tentunya menaikkan rating acara televisinya dan berujung pada banyak uang yang dikeruk dari acara tersebut. Pertanyaannya, apakah etis menjual dan mempertontonkan kemiskinan dan kesengsaraan untuk mengeruk keuntungan?.

Potret kemiskinan di negeri ini ternyata tidak hanya sebatas pada elit politik yang menjadikan kemiskinan sebagai sebuah obyek, namun termasuk juga produsen media. Dan dari fakta inilah kemiskinan justru dilirik oleh produsen media massa sebagai seni yang menarik untuk dikaryakan di televisi. Pemilik media mencoba mewujudkan adanya nilai seni dengan citra tinggi dibalik rendahnya selera hidup orang-orang miskin.

Kemiskinan memang sangat seksi. Mendengar kata miskin, terlebih lagi menyaksikannya lewat layar televisi dengan kelebihan audiovisualnya, kita akan dibuat begitu merasakan keadaan yang ditampilkan tersebut. Kemiskinan yang ditayangkan memang memiliki daya tarik tersendiri dengan berbagai teknik penyajian yang menyertainya, maka kemiskinan yang ditampilkan hampir selalu membuat setiap audiens mengalami yang namanya prihatin dan kasihan.

Kemiskinan yang membuat banyak penonton menangis dan terharu adalah sebuah komoditas bagi para pemilik modal berdasarkan survei, rating dan share audiencenya tinggi. Jika dilihat manfaatnya memang ada, karena orang-orang miskin terbantu dengan sejumlah uang dan sebagainya. Walau mereka juga tidak sadar bahwa ada keuntungan yang berlipat-lipat sementara yang mereka peroleh hanya sedikit.

Sebagai industri, apa yang muncul dalam setiap tayangan program televisi selalu berhitung dengan kalkulasi ekonomi, dan dengan berbagai cara media juga berusaha mengartikulasikan kepentingannya dalam membangun kendali atas berbagai citra. Dalam dunia media, dapat ditelusuri siapa yang memiliki kekuasaan untuk membuat berbagai hal menjadi menarik dalam bentuk apapun. Sebagaimana tulis Edward W. Said, “kapasitas untuk merepresentasikan, memotret, menggolongkan dan menggambarkan tidak dengan mudah tersedia bagi sembarang orang di sembarang masyarakat.” Kekuasaan ini hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki ketrampilan dalam mengelola berbagai materi tayangan untuk menarik perhatian audiens, mengendalikan isi atau program, sehingga hasil ini akan dijual kepada pengiklan dalam bentuk rating share.

Berbagai hal dikomodifikasi, diproduksi oleh media, mulai dari sinetron, iklan, reality show dengan berbagai jenisnya. Masing-masing media berkompetisi memproduksi komoditas-komoditas yang terus bersaing tentunya untuk mendapat keuntungan. Pemirsa yang menjadi konsumen terus-menerus disuguhkan berbagai komoditas. Dalam hal ini, pelayanan bagi audiens adalah alat, bukan tujuan. Dengan kata lain, media memproduksi audiens yang kemudian dapat dijual sebagai komoditas kepada para pemasang iklan.

Dengan demikian, maka industri kapitalisme media selalu mandapat keuntungan secara ekonomi dari berbagai program tayangan yang diproduksi dengan berbagai iklan yang menyertainya. Coba diperhatikan berapa banyak jenis program yang diproduksi stasiun televisi, mulai dari sinetron dengan berbagai jenisnya yang diproduksi berjuta-juta episode, reality show, dan berbagai macam program lainnya. Komodifikasi yang berlangsung berulang-ulang ini tentunya menjadi komoditas yang menggiurkan bagi industri pertelevisian.

Bukan hanya reality show yang menampilkan objek kemiskinan, bahkan kemiskinan ditawarkan sebagai objek wisata. Paket wisata kemiskinan ini ditawarkan dengan berkeliling menyusuri pinggiran rel sepanjang stasiun senen Jakarta. Disana ada kaum miskin yang hidup di gubuk dari kardus dan gubuk darurat lainnya. Kemudian dilanjutkan menyususri perkampungan kumuh pinggiran Sungai Ciliwung di Kampung Melayu. Terus ke arah Galur, Luar Batang dan berakhir perjalanan tur di kawasan kota. Paket wisata yang menawarkan “obyek wisata” kemiskinan itu adalah Jakarta Hidden Area Tour. Paket wisata kemiskinan itu bertarif antara 65 dollar AS hingga 165 dollar AS dengan jumlah peserta maksimal 4 orang.

Sangat memprihatinkan, kemiskinan kini telah menjelma sebagai suatu lahan untuk berdagang dan mencetak uang. Sehingga tidak menutup kemungkinan, harapan untuk mengurangi jumlah rakyat miskin semakin kecil. Berbagai regulasi yang dimainkan memiliki persoalan yang sungguh kompleks. Sebagaimana Karl Polanyi yang menjelaskan sebuah pasar yang mendasarkan diri pada prinsip self regulating, laissez-fraire yang merupakan roh pasar (self regulating market) yang merupakan model kapitalisme. Ini berarti bahwa tangan-tangan tak kentara (invisible hand) akan selalu menciptakan persoalan-persoalan lain yang muncul dari logika-logika tersebut. Dengan demikian maka komodifikasi objek kemiskinan (termasuk orang yang menjadi sasaran program reality show) adalah semata-mata untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun