Malu sebagian dari iman. Itulah yang sering disampaikan ketika menghadiri ceramah agama atau kegiatan sosial. Karena malu bisa menghindarkan diri dari berbuat dosa, melanggar peraturan hingga menerima sesuatu yang bukan haknya. Karena malu juga yang bisa mencegah seseorang untuk tidak korupsi atau "merampas" hak orang lain terutama rakyat kecil.
Karena tidak ada malu, negeri ini makin hancur karena korupsi, kolusi, dan nepotisme. Karena tidak ada malu juga seseorang bisa menzalimi orang lain. Karena tidak ada malu juga seseorang bisa tersenyum bahkan tertawa saat tertangkap tangan melakukan suap.
Melihat kondisi ini, malu sepertinya tepat diterapkan pada penggunaan energi. Malu menerima BBM subsidi, listrik, dan elpiji. Ketika barang ini sangat menyedot cadangan devisa dan membebani rakyat pada umumnya. Subsidi BBM yang terus membengkak karena masyarakat tidak malu menggunakan BBM subsidi. Pembatasan BBM subsidi yang sempat diterapkan 4 Agustus 2014 lalu ternyata tak mampu menggugah rasa malu pada konsumen yang seharusnya tak menerima BBM subsidi. Lagi-lagi malu tak menjadi sesuatu yang menghambatnya.
Karena tidak belajar malu juga, terjadi aksi borong gas subsidi 3 kg yang menyebabkan stok di pasaran terganggu. Masyarakat yang berhak membeli gas subsidi harus gigit jari karena sikap dan tindakan mereka yang mampu.
Berdasarkan data penelitian AC Nielsen yang dipublikasi Pertamina, pengguna elpiji 12 kg baru 17 persen dari keseluruhan pengguna bahan bakar gas di Indonesia. Sebanyak 7300 panel rumah tangga yang disurvei pada 2013 mendapatkan 16 persen masyarakat perkotaan, sementara konsumen pedesaan baru 4 persen di Pulau Jawa yang menggunakan LPG 12 kg.
Melihat subsidi energi yang nyaris tak pernah berkurang mengharuskan pemerintah melalui Pertamina. BUMN ini pun harus menaikkan harga elpiji nonsubsidi 12 kilogram secara berkala atau enam bulan sekali. Pertamina pun harus menyampaikan surat kepada Menteri BUMN dan ESDM 15 Januari 2014 tentang roadmap penyesuaian harga mulai 2014 hingga 2016 mendatang. Harga elpiji nonsubsidi naik berkala atau mencapai harga akhir Rp 11.944/kg pada Juli 2016. Sementara estimasi harga di tingkat konsumen Rp 14.660/kg atau 175.900 per tabung. Artinya, target Pertamina menekan kerugian bisa tercapai pada harga keekonomian.
Kendati demikian, harga jual elpiji non subsidi masih terendah dibanding Jepang, Korea Utara, Philipina, Tiongkok, dan India. Philipina sudah menjual elpiji non subsidi Rp 24.000/kg. Di Korea Utara harga elpiji non subsidi mencapai Rp 17.000/kg. Saat harga elpiji non subsidi Indonesia masih Rp 7.700/kg, harga elpiji di India sudah menyentuh angka Rp 12.600/kg.
Kerugian Pertamina 2009-2013 yang mencapai Rp 17 triliyun dengan asumsi kurs AS Rp 10.500/US$ menjadi alasan BUMN ini menaikkan harga jual elpiji nonsubsidi. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2011 sampai Oktober 2012 akibat bisnis LPG 12 dan 50 kg, Pertamina menanggung kerugian Rp 7,73 Triliun. Apalagi, porsi LPG yang disuplai untuk rakyat hanya 42 persen dari kilang dan lapangan kerjasama kontrak Pertamina.
Penyesuaian harga LPG memang bisa menekan kerugian Pertamina. Masalahnya, para konsumen gas 12 kg akan beralih ke LPG 3 kg yang lebih murah. Perlu ada mekanisme pembelian LPG diatur dengan menerbitkan izin. Izin membeli LPG 3 kg bisa didistribuskan melalui perangkat desa sehingga tepat sasaran. Sehingga aksi borong gas subsidi bisa ditekan. Lagi-lagi, izin ini pun bisa dipermainkan jika kurang pengawasan dan tidak adanya budaya malu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H