Nasionalisme Bendera
Oleh Mukhtaruddin Yakob
Nasionalisme selalu muncul tematik. Sifat hubbulwathan atau cinta tanah air ada dan menggema temporer. Nasionalisme akan tenggelam kembali saat situasi berlangsung biasa saja. Nasional muncul periodik, saat ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan atau bermasalah dengan negara lain. Nasionalisme terkubur setelah aroma proklamasi berlalu seiring berjalannya waktu.
Beberapa hari menjelang Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Merah putih bertebar dimana-mana. Kantor berbalut kain dwiwarna. Jalanan pun dijejali para penjual bendera. Persimpangan tak luput dari tema merah putih. Media massa mengkhususkan diri mengangkat topic nasionalisme. Namun, sepekan kemudian aroma dan aura ini pun berlalu.
Pemahaman nasionalisme didalami pada kulitnya saja, bahkan sering keliru. Pemahaman nasionalisme diukur dari formalitas, seperti menaikkan bendera, menyanyikan lagu kebangsaan dan menghafal Pancasila. Padahal, nilai nasionalisme lebih dari itu. Idealisme adalah rasa memiliki bangsa yang kuat secara sukarela. Bukan karena perintah, karena malu, atau karena sesuatu. Hubbul wathan adalah perintah agama yang senantiasa dilaksanakan.
Lantas siapa yang salah dengan kondisi ini. Masyarakatkah, generasi muda atau para abdi negara? Jawabannya adalah kesalahan kita semua dalam memahami nasionalisme. Pencerahan nilai kebangsaan dijabarkan sebatas cinta negeri, rela berkorban atau berani konfrontasi. Padahal, pembentukan karakter dalam mengemas nasionalisme jauh lebih penting dan dilupakan.
Krisis Keteladanan
Dekadensi nasionalisme di tanah air selalu dikaitkan dengan tanggungjawab generasi muda. Padahal, bukan hanya generasi muda yang memiliki potensi menjaga nilai kebangsaan. Apalagi generasi muda sebagai generasi penerus meneladani para pendahulunya. Kesalahan sering sekali dialamatkan kepada mereka-generasi penerus. Para generasi muda disuguhkan sandiwara tanpa babak sepanjang masa. Persoalan moral para pejabat publik hingga etika memimpin menjadikan generasi muda abai pada nilai nasionalisme.
Kondisi negeri yang tidak jelas menggerus nilai nasionalisme. Masyarakat nyaris terbiasa dengan ketidakjujuran. Karena pengelola negeri ini terjebak ada rutinitas penyimpangan. Perbedaan mendasar antara perkataan dan perbuatan semakin melunturkan kecintaan masyarakat pada bangsa dan negara.
Setiap hari publik disuguhkan informasi tentang penyimpangan, korupsi, kejahatan, penipuan. Sangat sedikit informasi positif yang bisa meninspirasi masyarakat. Kalau pun ada info positif tidak lebih dari berita lintasan yang tidak menempati halaman atau bagian utama.
Lalu, salahkan media? Belum tentu. Karena yang terjadi selama ini memang fakta. Mind set atau pola piker masyarakat terlanjur negatif dengan informasi yang masuk dalam benaknya. Demikian juga karakter media yang mungkin “wajib” selalu memublikasi ketimpangan daripada cerita-cerita inspiratif yang luput dari perhatian media massa.
Bahkan ada media massa yang kerap mencari kelemahan pemerintah dan aparatnya untuk terus digali ke ranah publik. Kebebasan pers dan informasi memang menjadi dalih mewartakan apa pun yang layak jadi berita. Jangan heran, “rahasia nagara” pun kadang ditelanjangi meluas hingga bisa dinikmati publik luar negeri. Yang geram dengan ini menuding nasionalisme media dan massa nyaris tak ada lagi.
Nasionalisme Bendera
Kita tak ingin terjebak dengan jargon nasionalisme. Yang penting dilihat sekarang bagaimana konsep nasionalisme tidak sekadar jargon apalagi semboyan yang dielukan ketika pesta demokrasi atau event yang menghadirkan massa. Nasionalisme dijalankan, bukan dielukan bagai mengagungkan seseorang yang memberi manfaat untuk dirinya. Nasionalisme tumbuh dan berkembang dari nurani sebagai implementasi cinta tanah air dan bangsa. Tidak sekadar retorika untuk menarik perhatian dan pengaruh. Sehingga nasionalisme dijadikan barang sakral untuk mengukur komitmen seseorang berjuang dan berkorban untuk bangsanya.
Adakalanya, kita sering memandang miring terhadap karakter seseorang yang menurut kita tidak lagi nasionalis. Apalagi, yang terjadi di kalangan aktivis atau ormas yang notabenenya agak kritis terhadap kebijakan pemerintah. Sering kita menilai kulit luar daripada isi dalam yang belum tentu ada benarnya. Akibat, kita terjebak pada negative thinking atau berburuk sangka terhadap seseorang.
Mari kita lihat nasionalisme di kalangan elite, apakah elite politik atau para pengusaha. Berapa banyak diantara mereka yang memakai karya bangsa sendiri sebagai bukti rasa nasionalisme. Saya berani pastikan tidak sampaikan dari 20 persen yang memang secara ikhlas membeli karya anak bangsa, selebihnya barang impor yang justru mematikan investasi bangsa. Kebiasaan belanja di supermarket atau department store malah jadi tren di kalangan kelas menengah ke atas. Gengsi bisa jadi alasan, tapi apa tanggung jawabnya sebagai kelompok mapan yang seharusnye menghidupi para anak bangsa. Murah dan mudah juga bisa pilihan, sekali lagi bagaimana dengan nasib para pedagang di pasar tradisional yang untuk beli beras saja susah minta ampun karena barang mereka sepi pembeli.
Hypermarket menjamur di mana-mana. Tidak saja di kota besar, pelosok tanah air pun jadi rebutan mereka. Yang merana para pedagang kecil yang notabenenya tak mampu bayar lapak lebih besar daripada retail kelas atas dan luar negeri. Mereka tidak salah, dan bukan juga memusuhi para investor asing berusaha di Indonesia. Cuma, tak ada salahnya uang Anda juga dinikmati para inang pedagang atau nyak-nyak pasar kumuh yang memang butuh makan. Soal asam garam tak usah beli di supermarket agar Mak Wa Hamidah tersenyum saat menjemur asam sunti atau Cut Po Fatimah lega ketika garam dapurnya dipesan laris. Lantas siapa yang tidak nasionalisme?
Masalah nasionalis dan nasionalisme atau nasionalisasi sempat diributkan tahun lalu. Saat itu, pemerintah didesak mengambil-alih kepemilikan perusahaan asing menjadi perusahaan nasional. Desakan ini tak didukung dengan kemampuan pemerintah menyuntik modal lebih besar ke perusahaan tersebut, sehingga nasionalisasi gagal. Kegagalan pemerintah dituding sebagai hal memalukan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar. Desakan tetap bergulir, tapi langkah itu kemudian berhenti.
Bangsa kita lebih senang terjebak dengan jargon dan simbol. Urusan nama justru lebih penting daripada kinerja atau kiprah. Kita lebih sering larut dan makan waktu panjang membahas soal nama atau label yang kadang belum tentu sinkron dengan porsinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H