Mohon tunggu...
Mukhtaruddin Yakob
Mukhtaruddin Yakob Mohon Tunggu... Pekerja Media -

Saya seorang pekerja Pers untuk sebuah media televisi. Gemar menulis dan suka diskusi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nasionalisme Dadakan

11 Agustus 2012   05:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:57 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Nasionalisme Bendera

Oleh Mukhtaruddin Yakob

Nasionalisme selalu muncul tematik. Sifat hubbulwathan atau cinta tanah air  ada dan menggema  temporer. Nasionalisme akan tenggelam kembali saat   situasi berlangsung  biasa saja.  Nasional muncul periodik, saat ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan atau bermasalah  dengan negara lain. Nasionalisme terkubur setelah aroma proklamasi berlalu seiring berjalannya waktu.

Beberapa hari menjelang Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Merah putih bertebar dimana-mana. Kantor berbalut kain dwiwarna. Jalanan pun dijejali para penjual bendera. Persimpangan tak luput dari  tema merah putih. Media massa mengkhususkan diri mengangkat topic nasionalisme. Namun, sepekan kemudian aroma dan aura ini pun berlalu.

Pemahaman nasionalisme didalami pada kulitnya saja, bahkan sering keliru.  Pemahaman nasionalisme diukur dari formalitas, seperti menaikkan bendera, menyanyikan lagu kebangsaan dan menghafal Pancasila. Padahal, nilai nasionalisme lebih dari itu. Idealisme adalah rasa memiliki bangsa yang kuat secara sukarela. Bukan karena perintah, karena malu, atau karena sesuatu. Hubbul wathan adalah perintah agama yang senantiasa dilaksanakan.

Lantas siapa yang salah dengan kondisi ini. Masyarakatkah, generasi muda atau para abdi negara? Jawabannya adalah kesalahan kita semua dalam memahami nasionalisme. Pencerahan nilai kebangsaan dijabarkan sebatas cinta negeri, rela berkorban atau berani konfrontasi. Padahal, pembentukan karakter dalam mengemas nasionalisme jauh lebih penting dan dilupakan.

Krisis Keteladanan

Dekadensi nasionalisme di tanah air selalu dikaitkan dengan  tanggungjawab generasi muda. Padahal, bukan hanya generasi muda yang memiliki potensi menjaga nilai kebangsaan. Apalagi generasi muda  sebagai generasi penerus  meneladani para pendahulunya. Kesalahan sering sekali dialamatkan kepada mereka-generasi penerus. Para generasi muda disuguhkan sandiwara tanpa babak sepanjang masa. Persoalan moral para pejabat publik hingga etika memimpin menjadikan generasi muda abai pada nilai nasionalisme.

Kondisi negeri yang tidak jelas menggerus nilai nasionalisme. Masyarakat nyaris terbiasa dengan ketidakjujuran. Karena pengelola negeri ini terjebak ada rutinitas penyimpangan. Perbedaan mendasar antara perkataan dan perbuatan semakin melunturkan kecintaan masyarakat pada bangsa dan negara.

Setiap hari publik disuguhkan informasi tentang penyimpangan, korupsi, kejahatan, penipuan. Sangat sedikit informasi positif yang bisa meninspirasi masyarakat. Kalau pun ada info positif tidak lebih dari berita  lintasan yang tidak menempati halaman atau bagian utama.

Lalu, salahkan media? Belum tentu. Karena yang terjadi selama ini memang fakta.  Mind set atau pola piker masyarakat terlanjur negatif dengan informasi yang masuk dalam benaknya. Demikian juga karakter media yang  mungkin “wajib” selalu memublikasi ketimpangan daripada cerita-cerita inspiratif yang luput dari perhatian media massa.

Bahkan ada media massa yang kerap mencari kelemahan pemerintah dan aparatnya untuk terus digali ke ranah publik. Kebebasan pers dan informasi memang menjadi dalih mewartakan apa pun yang layak jadi berita. Jangan heran, “rahasia nagara” pun kadang ditelanjangi meluas hingga bisa dinikmati publik luar negeri. Yang geram dengan ini menuding nasionalisme media dan massa nyaris tak ada lagi.

Nasionalisme Bendera

Kita tak ingin terjebak dengan jargon nasionalisme. Yang penting dilihat sekarang bagaimana konsep nasionalisme tidak sekadar  jargon apalagi semboyan yang dielukan ketika pesta demokrasi atau  event yang menghadirkan massa. Nasionalisme dijalankan, bukan dielukan bagai mengagungkan seseorang yang  memberi manfaat untuk dirinya. Nasionalisme tumbuh dan berkembang dari nurani sebagai implementasi cinta tanah air dan bangsa. Tidak sekadar retorika untuk menarik perhatian dan pengaruh. Sehingga nasionalisme dijadikan  barang sakral untuk mengukur komitmen seseorang berjuang dan berkorban untuk bangsanya.

Adakalanya, kita sering memandang miring terhadap karakter seseorang yang menurut kita tidak lagi nasionalis. Apalagi, yang terjadi di kalangan aktivis atau ormas  yang notabenenya agak kritis terhadap kebijakan pemerintah.  Sering kita menilai kulit luar daripada isi dalam yang  belum tentu ada benarnya. Akibat, kita terjebak pada negative thinking atau  berburuk sangka terhadap seseorang.

Mari kita lihat nasionalisme di kalangan elite, apakah elite politik atau para pengusaha.  Berapa banyak  diantara mereka yang memakai karya bangsa sendiri sebagai  bukti rasa nasionalisme.  Saya berani  pastikan tidak sampaikan dari 20 persen yang memang  secara ikhlas membeli karya anak bangsa, selebihnya barang impor yang  justru mematikan  investasi bangsa.  Kebiasaan belanja di supermarket atau  department store malah jadi tren di kalangan kelas menengah ke atas.  Gengsi bisa jadi alasan, tapi apa  tanggung jawabnya sebagai  kelompok mapan yang seharusnye menghidupi para anak bangsa. Murah dan mudah juga bisa pilihan,  sekali lagi  bagaimana dengan nasib para pedagang di pasar tradisional yang  untuk beli beras saja susah minta ampun karena barang mereka sepi pembeli.

Hypermarket menjamur di mana-mana. Tidak saja di kota besar, pelosok tanah air pun jadi rebutan mereka. Yang merana para pedagang  kecil yang notabenenya tak mampu bayar lapak  lebih besar daripada retail  kelas atas dan luar negeri.  Mereka tidak salah, dan bukan juga memusuhi para investor asing berusaha di Indonesia. Cuma, tak ada salahnya uang Anda juga dinikmati para inang pedagang atau nyak-nyak pasar  kumuh yang memang butuh makan.  Soal asam garam tak usah beli di supermarket agar  Mak Wa Hamidah  tersenyum saat  menjemur asam sunti atau Cut Po Fatimah  lega ketika garam dapurnya  dipesan laris. Lantas siapa yang tidak nasionalisme?

Masalah nasionalis dan nasionalisme atau nasionalisasi sempat diributkan tahun lalu. Saat itu, pemerintah didesak mengambil-alih  kepemilikan perusahaan asing menjadi perusahaan nasional.  Desakan ini tak didukung dengan kemampuan pemerintah menyuntik modal lebih besar ke perusahaan tersebut, sehingga nasionalisasi gagal.  Kegagalan pemerintah dituding sebagai  hal memalukan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar.  Desakan tetap bergulir, tapi langkah itu kemudian berhenti.

Bangsa kita lebih senang terjebak dengan jargon dan simbol.  Urusan nama justru lebih penting daripada kinerja  atau kiprah.  Kita lebih sering larut dan makan waktu panjang membahas soal nama atau label yang kadang belum tentu sinkron dengan porsinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun