Setiap kenaikan harga elpiji, pasti timbul protes. Tak hanya mereka yang menggunakan elpiji, tapi juga yang tidak membeli elpiji. Tidak percaya, lihat saja sikap anggota dewan yang bersuara lantang setelah pemerintah melalui Pertamina menaikkan elpiji. Seolah-olah mereka membela rakyat, padahal sudah ada deal sebelumnya.
Kenaikan Elpiji 12 kg secara berkala atau per semester di sisi lain memang berpengaruh. Pengaruhnya tentu saja pada pedagang makanan atau minuman. Tapi, tak berdampak pada rakyat kecil, karena memang memang sudah mendapatkan elpiji subsidi.
Namun, kita lupa bahwa kenaikan elpiji nonsubsidi untuk menekan defisit APBN yang terjadi setiap tahun. Bayangkan, kerugian Pertamina akibat disparitas atau selisih harga yang jauh sebesar Rp 5,7 triliun bisa ditekan. Nah, wajar saja jika uang sebesar itu bisa dimanfaatkan pada sektor lain yang membutuhkan, misalnya memperbanyak beasiswa anak miskin.
Kenaikan elpiji 12 kg kali ini, hendaknya dijadikan momentum mengembalikan hak simiskin yang kadung dirampas karena disubsidi. Bukankan, subsidi ini untuk mereka yang kurang mampu. Lalu, mana ada kaum miskin yang bisa membeli elpiji 12 kg sehingga harus diributkan. Toh, yang pakai elpiji 12 kg kebanyak rumah tangga menengah ke atas, rumah makan dan restoran. Belajar memahami hak orang lain adalah langkah yang bijaksana. Jadi, bersikap dewasalah hai orang kaya dan para golongan yag mampu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H