Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih berhahan di kisaran 6 persen kendati tahun 2013 lalu empat turun ada angka 5,8 persen karena pelambatan pertumbuhan ekonomi global. Namun , kondisi ini tetap memotivasi masyarakat membuka usaha baru. Sektor Usaha Mikro Kecil, dan Menengah (UMKM) adalah pilihan yang paling menjanjikan. Selain tahan terhadap tekanan ekonomi global, UMKM mampu menggerakkan sector swasta terutama kelangan home industry.
Sadar atau tidak, peranan UMKM sangat membantu dalam menahan laju infllasi dan pressure terhadap ekonomi negara lain, bahkan dunia. Dari UMKM bisa lahir para pengusaha handal semisal Chairul Tanjung-menko perekonomian yang juga CEO Trans Corporation atau Dahlan Iskan CEO Jawa Pos Group di bidang media.
Laporan Tahunan BI 2013 menyebutkan Proses penyesuaian ekonomi domestik yang tetap terkendali juga ditopang stabilitas sistem keuangan yang tetap terjaga, terutama ketahanan perbankan yang tetap kuat. Ketahanan perbankan yang tetap kuat tercermin pada CAR yang tinggi dan NPL yang rendah. Ketahanan perbankan yang masih kuat tersebut cukup positif di tengah tren perlambatan pertumbuhan ekonomi yang kemudian berdampak pada pertumbuhan kredit yang melambat pada 2013. Sementara itu, pertumbuhan kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) tercatat lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan tahun lalu, meskipun terdapat kecenderungan mulai melambat sejak September 2013. Pertumbuhan kredit UMKM yang masih tinggi mengindikasikan besarnya peran UMKM dalam menopang perekonomian domestik di tengah kuatnya pengaruh perlambatan ekonomo global.
Kendati Laporan BI bangga dengan pertumbuhan UMKM, namun nafas UMKM kurang mendapat perhatian dari pemerintah, bahkan perbankan. Mereka kesulitan mencari tambahan modal usaha karena berbagai pertimbangan. Tingkat kepercayaan lembaga keuangan nonbank hingga kalangan perbankan sampai koneksi yang tidak terbangun. Sementara peran mereka sangat menentukan dinamisnya roda perekonomian Indonesia.
Perlakuan ini sangat berbeda dengan Tiongkok atau India. Dua negera ini sangat gencar menghidupkan home industry dalam berbagai bidang. Lihat saja mainan anak-anak atau perangkat keras telepon genggam dan computer, bahkan sepeda motor sampai kendaraan berat sekalipun. Hamper semuanya dikerjakan secara home industry. Maka, wajar saja jika harganya sangat murah dan merambah ke seluruh dunia.
Pusat-pusat rakitan atau rekayasa pun dibangun secara masif. Upaya ini bukan saja menyerap tenaga kerja yang sangat signifikan, tapi juga mempromosikan produk mereka secara luas. Dampaknya adalah pendapatan negara melalui ekspor dan pajak hingga produktivitas masyarakat Tiongkok. Bahkan, Tiongkok mengirimkan tenaga kerja ke luar negeri dengan skill yang sudah ada, paling tidak bisa merakit computer jinjing sampai spare part HP.
Kembali ke masalah Indonesia. Nasib UMKM di tanah air tak seberuntung rekan seprofesi di Tiongkok dan India. Home industry di nusantara masih sebatas kerajinan tangan, garmen, dan makanan khas daerah. Selebinya sulit ditemui. Jika pun ada jumlahnya sangat terbatas, seperti bola kaki atau jersey klub sepakbola.
Cari Kredit
Sulitnya UMKM dan home industry berkembang selain kurangnya perhatian pemerintah dari sektor pemasaran sampai sulitnya mendapat modal pinjaman dari lembaga perbankan dan instansi atau BUMN. Kurangnya pengetahuan membangun jaringan higgga tingkat kepercayaan adalah satu dari beberapa alasan yang kerap mereka alami. Kondisi inilah yang membuat mereka sulit berkembang sehingga mencari pinjaman dari pihak lain.
Fenomena ini dimanfaatkan para rentenir atau mereka yang memiliki modal menyediakan pinjaman cepat. Orang-orang yang membutuhkan modal bisa berhubungan langsung dengan kreditur tak resmi tanpa banyak syarat. Istilah “Bank 47” sering dipopulerkan mengutip sebutan Bank BNI 46. “Bank 47” sebenar rentenir yang memanfaatkan situasi untuk mencari keuntungan dalam waktu tertentu. “Bank 47” kadangkala bisa membantu debitur yang membutuhkan modal secepat mungkin tanpa harus kehilangan kesempatan berusaha. Cepat dan mudah dijadikan motto "Bank 47" untuk menjerat calon debitur.
Masyarakat sadar bahwa meminjam uang dari “Bank 47” berbunga tinggi. Namun, mereka abai saat membutuhkan dana dalam jumlah tertentu, tujuan mereka bisa terpenuhi. Tak pelak, para debitur pun kerap terjerat utang dengan bunga yang terus meningkat akibat tidak mampu menyicil karena usaha mereka seret. Inilah yang kondisi yang paling apes. Selain terjerat utang, usahanya pun harus ditutup karena bangkrut.