Mohon tunggu...
Agam Rafsanjani
Agam Rafsanjani Mohon Tunggu... -

saya tampan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Membaca Norwegian Wood, Membaca Perempuan

28 Mei 2015   13:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:30 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pribadi

Hampir satu tahun semenjak saya mengikuti kelas Akademi Bercerita yang dimotori penerbit Bentang Pustaka. Ada belasan yang ikut program itu. Satu dari banyak hal yang kuingat adalah pada saat perkenalan, kami para peserta diminta menyebutkan satu buku yang berpengaruh bagi diri sendiri. Beberapa menyebut karya Dee dan Andrea Hirata, termasuk saya yang kala itu menggugat Sang Pemimpi yang menjadi buku paling berpengaruh dalam hidup. Tiga orang akademia (ijinkan saya menyebut demikian) ada yang kuliah di bidang sastra. Tentu mahasiswa model ini telah baca banyak buku. Hampirlah kesemua yang disebutkan belum pernah terjamah dunia bacaan saya. Salah satu yang menarik ketika seorang dari mereka menyebut satu judul: Norwegian Wood, karangan penulis jepang Haruki Murakami. Terus terang saya menyimpan judul-judul buku yang disebut menjadi pengaruh bagi anak-anak sastra ini. Tentu saja saya tahu buku-buku itu tak beredar lagi di pasaran. Butuh kesabaran untuk menunggu, entah seseorang menjual dalam kondisi bekas, atau diterbitkan ulang. Namun entah mengapa selalu membuatku tertarik, apa yang anak sastra cari dari sebuah buku bacaan? Apakah menarik bagi mereka juga bisa menarik buat saya? Pertanyaan baru terjawab ketika Norwegian Wood kembali diterbitkan KPG. Februari 2015 atau hampir satu tahun semenjak kelas Akademi Bercerita. Norwegian Wood bukan buku Haruki Murakami pertama yang saya baca. Sebelumnya telah juga kurampungkan Dengarlah Nyanyian Angin. Ini pertama bagi saya menyelesaikan novel terjemahan. Sebelumnya selalu punya anggapan novel terjemahan punya diksi yang kaku. Kurang ngena. Tapi dalam karya Murakami, anggapan itu seolah menyingkir begitu saja. Berkaitan hal itu, Murakami bagi saya sangat kuat pada dialognya yang cerdas dan mendalam. Dulu saya pikir diksi adalah kunci permasalahan karya terjemahan. Tapi saya jadi bertanya lagi apakah benar saya orang peduli pada diksi. Yang jelas bagi saya dialog yang cerdaslah yang menjadikan buku ini jadi page turner, membuat saya tak mau berhenti. Dalam membaca Norwegian Wood, awalnya saya menyangka ini sekadar novel romansa biasa. Sinopsis menceritakan kurang lebih demikian. Seorang pria yang teringat mantannya waktu mendengar lagu Norwegian Wood-nya The Beatles. Namun Murakami membawakannya dengan lihai. Tokoh dibangun dengan rencana matang yang membuat pembaca tak mungkin lupa sosoknya. Jadi beberapa halaman kita baca, tokoh utama aku (Watanabe) dengan mudah diterka bahwa dia introver, tak peduli dengan dunia sekitar, pembaca kelas kakap, dan semacamnya. Murakami membawakannya dengan beralasan; karena dia kehilangan sahabat terbaiknya yang mati bunuh diri, Kizuki. Pada prosesnya, membaca Norwegian Wood bukan sekedar menilik kisah picisan seorang introver. Kesendirian Watanabe itu nyatanya bukan abadi. Sikapnya yang tertutup justru unik bagi sebagian orang. Di sinilah kemudian dia bertemu orang-orang dengan kompleksitas masalah masing. Midori dengan cerita imajinasinya yang luar biasa sehingga kehidupan dan keluarganya seolah tampak unik. Nagasawa yang pintar dan kaya dengan pacarnya, Hatsumi, yang juga pintar dan cinta setengah mati padanya. Tapi tetap fokus utama Watanabe adalah Naoko, gadis yang dulunya pacar Kizuki (percintaan substitusi, lol), yang tengah berusaha menyembuhkan lukanya. Di kemudian hari gadis ini mengaku ada yang lain dalam dirinya (untuk tidak menyebut kurang waras) dan akhirnya dia memutuskan menjalankan rehabilitasi di sebuah sanitarium. Seksualitas dan makna diri sendiri sangat sarat dalam novel ini. Tapi saya lebih suka melihat ini sebagai gambaran ketidakberdayaan perempuan. Jelas sekali selemah-lemahnya, atau seterpuruk-terpuruknya kondisi lelaki, toh perempuan jauh tidak berdaya. Kenyataan bahwa Midori yang normal-kompleks menyukai Watanabe, tapi Watanabe mengaku masih menjalani hubungan dengan orang ‘lain’, bagiku sangat unik. Kedua perempuan itu menunggu, yang satu menunggu untuk seorang lelaki melihatnya sebagai dirinya sendiri, satu lagi menunggu supaya seorang lelaki siap menerima dirinya dalam kondisi sesiap-siapnya. Lebih lagi dalam kasus Hatsumi dengan Nagasawa. Perempuan itu terang-terangan tau kalau pacarnya kerap bercinta dengan perempuan lain. Tapi toh bagaimanapun cueknya Nagasawa, Hatsumi tetap tabah. Padahal, Hatsumi adalah sosok yang seorang perempuan yang dicari banyak lelaki. Bukan tentang kecantikan, melainkan sosok yang seolah tau cara bersikap untuk menarik lelaki. Perempuan bagaikan buku yang tak pernah habis dibaca. Cerita dalam Norwegian Wood adalah secuil kisah saja, dari sekian banyak kerumitan perempuan yang membuat kita geleng-geleng. Saya beruntung mendapat rekomendasi bacaan seperti ini setelah mengikuti kelas Akademi Bercerita. Sebuah novel yang bisa membuat kita berpikir lebih dalam setelah membacanya. Kalau bahasa asyiknya, setelah baca buku ini bikin saya bertanya, emang cewek kayak gitu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun