Sejak diperkenalkan medio 1970an dengan pembangunan jalur Jagorawi yang menghubungkan Jakarta-Bogor, jalan tol terus mengalami perkembangan yang pesat. Selain bisa mempercepat waktu tempuh perjalanan, pengendara pun bisa terbebas dari rintangan dan dapat memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi tanpa dibayangi ketakutan akan munculnya penyebrang jalan sembarangan.
Alhasil waktu perjalanan bisa dipersingkat. Jarak yang jauh pun terasa menjadi dekat, jarak Bandung-Jakarta misalnya yang dulunya di perjalanan 6 sampai 7 jam. Sejak dibangunnya Jalan Tol Cipularang bisa dipersingkat menjadi sekitar 2 jam.
Namun tanpa disadari dari semua kemudahan yang didapat, kita menghilangkan satu sisi kehidupan positif berbudaya masyarakat Kabupaten Bekasi yakni silaturahmi.
 Akibat pembangunan Jalan Tol, banyak kampung di Bekasi terkotak-kotak dan tersekat.
Jalan Tol memisahkan kampung bagaikan tembok Berlin di Jerman zaman dahulu yang memisahkan kota Berlin menjadi dua bagian.Â
Budaya Silaturahmi antar keluarga pun nyaris hilang padahal jarak rumah mereka hanya selemparan batu, Jalan Tol dengan gagah merampas hak warga kampung untuk bersilaturahmi dengan sanak saudaranya
Seperti yang dialami Hj Minah (bukan nama sebenarnya), Nenek warga Kp. Pekopen, Tambun Selatan ini mengaku hanya bersilaturahmi waktu lebaran saja dengan adiknya padahal atap rumah adiknya dengan jelas terlihat dari rumah Hj. Mina.
"Silaturahmi ke adik paling lebaran aja, ora bisa lewat, kalau lewat jembatan jauh" jawab Hj.Minah ketika saya temui di rumahnya.
 Dari pancaran wajahnya jelas terlihat raut kecewa,sebab dahulu sebelum Jalan Tol ada Hj Minah mengaku hampir setiap hari bersilaturahmi ke rumah adiknya.
Pembangunan jalan tol sendiri yang diadopsi dari Barat jelas mengalami kegagapan ketika diterapkan di Indonesia yang berbudaya timur. Budaya Barat yang individualistis mungkin tidak akan menjadi masalah ketika tidak bersilaturahmi dengan saudara atau tetangga tetapi di Indonesia khususnya di Bekasi, Silaturahmi sudah menjadi budaya yang mengakar kuat.