SANATANA DHARMA
Konsistensi dalam Inkonsistensi
".....wake up and find out eventually who you really are.
In our  culture, of course, they'll say you're crazy and you're blasphemous, and they'll either put you in jail or in a nut house (which is pretty much the same thing).
However if you wake up in India and tellyourfriends and relations,
 'My goodnes, I'vejust discovered that Iin God, ' they'll laugh and say, Oh, congratulations, at last you found out. "'
Alan W. Watts, The Essential Alan Watts
Kutipan di atas dari Seorang Filsuf, seorang spiritualis, menjelaskan dengan sangat apik di mana dan bagaimana Pandangan Sindhu, Hindu, Shintuh, Indus, Indies, Indo, Hindia beda dari pandangan-pandangan umum lainnya.
Beliau mengatakan,
..bangkitlah dan ketahui siapakah Anda sesungguhnya. Dalam budaya kita," maksudnya adalah budaya Barat kontemporer, yang telah memengaruhi budaya-budaya Timur saat ini, "tentunya, mereka akan mengatakan Anda tidak waras, Anda menghina (melecehkan/menistakan agama a.k.), dan mereka akan mengirimkan ke rumah sakit jiwa atau memenjarakan Anda (yang kurang lebih sama seperti rumah sakit jiwa juga).
Â
"Akan tetapi, jika Anda bangkit (tercerahkan a.k.) di India (maksudnya dalam konteks peradaban dan budaya Sindhu, Hindu, Shintuh, Indus, Indies, Indo, Hindia jadi bukan India sebagai negara tertentu saja --- a.k.), dan mengatakan kepada kawan dan kerabat Anda, 'Amboi, aku baru menemukan bahwa sesungguhnya aku Tuhan', maka mereka akan ketawa dan mengatakan, 'Selamat, akhirnya kau menemukan juga.
Tat Tvam Asi --- Itulah Engkau (Chandogya Upanishad, Sama Veda); Aham Brahmasmz' Akulah Kebenaran Sejati di balik segala ciptaan  (Brihadaranyaka Upanishad, Yajur Veda) --- dan beberapa kalimat lain serupa dari Veda disebut mahavakya --- kalimat-kalimat maha atau termulia, terutama.
Tujuan hidup manusia adalah mencapai tingkat kesadaran tertinggi tersebut, di mana tiada lagi delusi perpisahan antara Hyang Maha Mencipta dan CiptaanNya --- sebagaimana laut tak terpisahkan dari gelombang, bulan dari rembulan, dan matahari dari sinarnya.
Dalam tradisi-tradisi lain pun, sesungguhnya itu yang menjadi tujuan hidup manusia. Sama. Namun, ketika Sebagian pelaku kepercayaan bergandeng dengan penguasa, maka demi melestarikan kekuasaan segelintir orang, keramaian pun dikorbankan. Pemahaman suci dikebiri, dibonsai, supaya mereka yang kerdil tampak tinggi.
Tidak Berarti Sindhu, Hindu, Shintuh, Indus, Indies, Indo, Hindia Luput dari upaya-upaya pembonsaian seperti itu. Tidak juga. Hindu pun sudah sering menghadapi berbagai tantangan yang sama. Untungnya, selalu terselamatkan oleh para pemberani seperti Vivekananda, Aurobindo, dan lainnya.
Ditambah lagi dengan para avatar seperti Krishna dan Buddha, dua-duanya menjunjung tinggi Dharma dan menolak segala tradisi yang sudah usang dan tidak berguna bagi manusia kontemporer di zaman mereka masing-masing.
Lewat salah satu tulisan saya sebelumnya, kita berupaya untuk memahami arti Dharma, yang awalnya disebut Rta dalam Veda, dan dijelaskan sebagai "(nilai-nilai luhur) yang memastikan kesejahteraan, kebahagiaan, kebaikan semua makhluk hidup" .
Ditambah dengan kata Sanatana, yang berarti "Langgeng, Abadi" --- maka arti Sanatana Dharma menjadi sangat jelas: "(nilai-nilai luhur) yang memastikan kesejahteraan, kebahagiaan, kebaikan semua makhluk hidup, dan bersifat Langgeng, Abadi." Berarti, nilai-nilai kehidupan yang tidak pernah usang, tidak pernah menjadi kadaluarsa, tidak pernah punah --- dalam pengertian senantiasa relevan dengan dan dalam segala zaman.
Demikianlah Dharma atau Nilai-Nilai Luhur --- bersifat Sanatana, Langgeng, Abadi. Jadi, Dharma adalah Faktor Konsisten dalam kehidupan seorang Hindu, seorang Warga Bumi. Tidak ada kompromi dalam hal Dharma, nilai-nilai luhur seperti Satya atau Kebenaran, Shanti atau Kedamaian, Prema atau Kasih Sayang, dan lain sebagainya.
Yang Tidak Konsisten dan dapat berubah mengikuti perkembangan waktu adalah cara mengaplikasikan Dharma atau nilai-nilai luhur yang konsisten tersebut.
Misalnya, jika kita hendak bepergian ke suatu tempat, katakan Bali, maka tujuan kita, dalam hal ini Bali, adalah Faktor Konsisten. Namun, wahana yang kita gunakan untuk mencapai Bali bisa tidak konsisten. Leluhur kita menggunakan kuda, perahu, dan sebagainya. Kita tidak mesti menggunakan wahana yang sama. Mengikuti perkembangan zaman, bisa menggunakan mobil, bis, atau pesawat terbang.
Sebab itu, Sindhu, Hindu, Shintuh, Indus, Indies, Indo, Hindia Tidak Takut dengan Perubahan. Hindu menerima segala perubahan, asal tidak melanggar nilai-nilai luhur atau Dharma.
Merusak, membunuh, menjarah, mengotak-ngotakan umat manusia berdasarkan warna kulit, kepercayaan, suku bangsa, dan sebagainya bukanlah nilai-nilai yang sesuai dengan keluhuran dan kemuliaan Sanatana Dharma.
Hindu menolak nilai-nilai seperti itu secara tegas dan tanpa keraguan apa pun. Hindu menolak kezaliman dalam bentuk apa pun dan terhadap siapa pun, terhadap Hindu maupun non-Hindu yang tetap dianggapnya sebagai sesama manusia, sesama Warga Bumi. Hindu juga menolak kekerasan terhadap binatang yang dihormatinya sebagai sesama makhluk hidup.
Ketika adharma atau kebatilan merajalela, maka demi menegakkan Dharma atau Keluhuran, Kemuliaan, Kebajikan, Keadilan, Hindu berseru untuk membangkitkan Jiwa Krishna:
yad yad hi dharmasya glnir bhavati bhrata, abhyutthnam adharmasya tadtmnalil srjmyaham
"Wahai Arjuna, ketika dharma, kebajikan dan keadilan, mengalami kemerosotan; dan adharma, kebatilan dan ketidakadilan merajalela -maka Aku menjelma."
paritrpya sdhnlii vin'ya ca duskrtm, dharma-samsthpanrthya sarhbhavmi yuge yuge
"Guna melindungi para bijak; membinasakan mereka yang berbuat batil; dan, meneguhkan kembali dharma, kebajikan Aku datang menjelma dari masa ke masa.
(Anand Krishna, Bhagavad Gita bagi Orang Modern, Gramedia Pustaka Utama, 2016)
Penjelmaan Krishna yang Dimaksud adalah pewujudan Jiwa Krishna dalam diri manusia, dalam diri setiap manusia yang sesungguhnya mewakili Arjuna, Sang Kesatria.
Dalam setting Bhagavad Gita, lagi-lagi kita melihat konsistensi dalam inkonsistensi. Dharma tetaplah sebagai Faktor Konsisten. Hindu juga tidak membenarkan kekerasan. Tetapi jika adharma merajalela, maka Arjuna, Sang Satria mesti bangkit. Tentunya, dalam era modern ini tidak perlu menggunakan panah, tombak, atau pun dengan merusak sesuatu yang sudah dibangun dan sudah baik. Mesti menggunakan strategi yang sesuai dengan Dharma Zaman.
Pun tidak perlu melawan sesuatu yang sudah baik, dan memberi perlawanan hanya karena yang baik itu tidak sesuai dengan kemauan atau keinginan kita yang justru belum tentu baik.
Ada yang Pernah Bertanya tentang Parampara, yang disalahartikannya sebagai tradisi atau adat-istiadat. Parampara adalah Suksesi para Guru Pemandu Spiritual yang meneruskan nilainilai luhur Dharma secara turun-temurun. Jadi, seorang Guru Spiritual --- bukan sekadar guru biasa, walau menyandang gelar spiritual dan sebagainya --- meneruskan nilai-nilai tersebut kepada para muridnya, dan para murid meneruskan kepada murid mereka dan seterusnya.
Sementara itu, Tradisi adalah kebiasaan-kebiasaan, atau adat-istiadat yang diteruskan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Bisa jadi kebiasaan-kebiasaan itu berlandaskan Dharma, bisa juga tidak, dan malah berlandaskan adharma.
Misalnya kebiasaan merokok, meludah dan membuang sampah di sembarang tempat, menyembelih binatang untuk kcpuasan sclera atau urusan lain --- semuanya itu bisa jadi merupakan tradisi dan bagian dari adat-istiadat. Tapi, belum tentu bcrlandaskan Dharma.
Hindu mengajak kita untuk menggunakan Viveka atau memilah secara cermat, mana yang berlandaskan Nilai-Nilai Luhur dan Mulia, Dharma, dan mana yang tidak.
Jika Hasil Pemilahan dengan Menggunakan Landasan Dharma membuktikan bahwa suatu kebiasaan tidak sesuai dengan Dharma, maka Sindhu, Hindu, Shintuh, Indus, Indies, Indo cukup berani untuk mengubahnya, walau kebiasaan itu sudah mendarah daging sejak berabad-abad.
Perubahan-perubahan seperti itu yang dibawa oleh para Jiwa Besar seperti Ramakrishna, Vivekananda, Aurobindo, Tagore, dan sebagainya.
Jangan lupa, kata kunci kita adalah viveka, intelegensi, fakultas yang dapat memilah antara Dharma dan adharma. Tidak perlu mengubah sesuatu yang sudah berlandaskan Dharma dan sudah baik. Pun tidak perlu meneruskan kebiasaan-kebiasaan yang tidak berlandaskan Dharma, dan tidak relevan.
Semoga Kita Semua Senantiasa Hidup Kemuliaan, Aum Svasti Astu.
Sumber :
Anand Krishna. Sindhu Samskriti : Nilai-nilai Luhur Budaya Warg Bumi. 2018. Pusat Studi Veda dan Dharma.
www.booksindonesia.com
Anand Krishna | Buku Meditasi Anand Krishna, Buku Yoga Anand Krishna (booksindonesia.com)
Â
Youtube: Anand Krishna
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!