Situasi saat ini menunjukkan Rafah kondisinya sangatlah mencekam. Dilansir dari DetikNews, pada Rabu, 29 Mei 2024, serangan Israel di Rafah menewaskan setidaknya 45 jiwa dari kamp pengungsi yang dinyatakan sebagai “zona aman” dari serangan dan menyebabkan sekitar 900.000 dari 1,4 juta penduduk harus mengungsi dari Rafah. Bahkan Netanyahu menyebut serangan mematikan itu merupakan "insiden tragis". Lantas apakah serangan tersebut pantas disebut sebagai suatu “insiden”.
Semenjak peperangan antara Hamas dengan Israel yang dimulai sejak 8 bulan yang lalu, Warga Palestina yang berada pada Jalur Gaza terpaksa untuk bergerak mengungsi menuju ke Selatan mencari perlindungan yang dianggap lebih aman. Hal ini dikarenakan pusat perang antara Hamas dan Israel besar terjadi pada Gaza Utara. Keagresifan yang dimiliki Israel membuat mereka merasa belum puas dalam menginvasi sehingga mereka terus meluluhlantakkan Palestina menuju lebih dalam.
Saat ini, pengungsi di Rafah tengah menghadapi kondisi yang sangat sulit, seperti kekurangan fasilitas sanitasi, air bersih, dan tempat tinggal yang layak, hal ini dikarenakan kerusakan infrastruktur dan blokade akses bantuan kemanusiaan yang dilakukan Israel semakin memperburuk situasi. Rumah sakit beserta fasilitas kesehatan lainnya di Gaza, termasuk di Rafah, rasanya sudah tidak lagi berfungsi, dan pasokan makanan, serta bahan bakar sangatlah terbatas. Kondisi kesehatan yang parah dan kesejahteraan warga yang sangat kritis terus menghantui mereka beberapa malam terakhir
Serangan yang dilakukan Israel tengah dikritik tajam oleh berbagai negara dan organisasi. Dilansir dari Voa Indonesia, bahwa mereka sangatlah mengecam serta menyesalkan perbuatan ketidakberperikemanusiaan yang dilakukan oleh Israel. Bahkan mereka juga ingin segera membawa kasus ini di hadapan Mahkamah Internasional untuk memberikan pertanggung jawaban dan menghentikan aksi militer mereka di Rafah. Tak hanya itu, tagar #AllEyesOnRafah tengah menjadi trending di Instagram, hal ini dilakukan oleh masyarakat dunia untuk memberitakan kepada dunia untuk membuka mata dan telinga bahwa mereka perlu bersatu bersama untuk berbuat lebih kepada Gaza, serta Rafah.
Melalui “Multi-Track Diplomacy: A System Approach to Peace”. Peran pemerintah dalam menciptakan perdamaian melalui langkah diplomasi masih terletak paling sentral. Dalam menciptakan perdamaian pada konflik antara Israel-Palestina, pemerintah di dunia harus melalui diplomasi secara resmi, pembuatan kebijakan, dan membangun perdamaian melalui aspek formal yang terdapat dalam proses pemerintahan seperti: eksekutif, kementerian, kedutaan besar, dan lain-lain.
Menurut penulis, pemerintah adalah tonggak utama dalam menyelesaikan konflik ini. Dengan tangan yang besar, seharusnya berbagai negara dan organisasi dunia dapat bersatu dalam menyuarakan hak-hak kemanusiaan serta gencatan senjata sehingga cukup untuk memberhentikan aksi militer yang dilakukan Israel. Tak hanya itu, masyarakat dunia juga harus bisa bersuara dengan mengacu pada peran media yang menggambarkan suara masyarakat. Media memiliki peran yang signifikan dalam menyampaikan isu-isu konflik, perdamaian dan resolusi konflik sehingga diharapkan seluruh elemen masyarakat dapat bersatu untuk memperjuangkan perdamaian internasional ini.
Konflik berkelanjutan antara Israel dan Palestina, terutama di daerah Rafah, telah menyebabkan kerusakan besar dan penderitaan bagi warga sipil. Serangan yang dilakukan oleh Israel, dengan sejarah yang panjang dan kompleks, terus merenggut jiwa dan merusak infrastruktur penting. Sehingga untuk mencapai perdamaian dan menghentikan penderitaan, diperlukan upaya diplomasi yang kuat dari negara dan organisasi dunia, serta dukungan dari masyarakat sipil. Tak hanya itu, media massa dapat dijadikan senjata terbaik dalam mempersatukan perjuangan dunia melawan kerusakan yang ditimbulkan oleh Israel.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H