Mohon tunggu...
Aftina Husna
Aftina Husna Mohon Tunggu... -

Lulusan fakultas psikologi... Hobi membaca, menulis, melukis, main gitar, dan jalan-jalan... Kegemaran: buku bagus, kue, permen, teman baru, dan kerja keras. I love life, life loves me!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak Gratis

1 Juli 2013   00:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:11 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Anak Gratis

Tidak ada seorang anak pun di dunia ini yang minta dilahirkan. Tidak ada dari mereka yang dapat memilih dari rahim yang mana mereka dilahirkan. Tidak ada dari mereka yang juga dapat memilih di dalam keluarga mana mereka dibesarkan. Tapi, selalu saja aku berandai, seandainya aku dapat memilih.

Khayalan masa kecilku dipenuhi oleh perandaian-perandaian semacam itu. Selalu saja aku berandai bahwa aku tidak dilahirkan di sini atau aku menjadi anak keluarga lain. Atau ternyata aku anak yang hilang atau tertukar? Atau tiba-tiba tetangga favoritku mengklaimku sebagai anak mereka? Atau tiba-tiba ada acara di televisi, program tukar keluarga! Wah, itu bagus sekali. Aku pasti ikut.

Waktu itu, mungkin aku tak bisa mengkhayalkan hal yang lain. Pada tugas menceritakan cita-cita, waktu aku kelas dua, khayalan itulah yang dengan menggebu-gebu aku ceritakan di depan seluruh kelas dan aku merasa senang. Aku ingin tinggal di rumah tetanggaku, menjadi saudara teman baikku si X yang seumuran denganku. Ya, bukankah kami terkenal kompak? Mengapa tidak sekalian saja tinggal satu rumah? Begitu, kan? Setiap pagi kami akan dibangunkan pukul lima dengan ketukan halus di pintu, “Ayo bangun, Nak.” Kami sarapan di meja makan, ada tempe goreng atau sayur sawi – aku pernah menginap di rumahnya. Berangkat sekolah diantar, dilepas dengan peluk cium, dan dibekali dengan sepotong kue atau sebotol jus buah. Setelah sekolah bermain bersama, atau setiap hari Minggu kami pergi melancong, atau setiap akhir pekan pergi menonton film. Semacam itulah. Asyik sekali.

“Nak, itu bukan cita-cita,” kata bu guru. Aku hanya berkerut heran. “Cita-cita itu seperti kamu mau jadi dokter, guru, polisi...”

Menurutku, bu guru terlalu berlebihan karena malam harinya ia berkunjung ke rumah. Aku mengintip mereka, ingin tahu apa yang mereka bicarakan. Tapi, aku tidak berhasil tahu karena aku dihalau kembali ke kamar oleh pembantu. Beberapa saat berlalu, sementara aku berusaha mengerjakan PR matematikaku, pintu menjeblak terbuka.

“Apa yang kamu katakan di sekolah?!” bentaknya sambil mencengkram lenganku. Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku dan aku melihat dia yang menakutkan. “Kamu tidak suka tinggal di sini? Anak tidak tahu diuntung!” Dan dia mendorongku, aku terjatuh.

Aku lupa setelah itu apa, tetapi yang paling kuingat adalah sebelumnya aku tidak bisa bicara satu patah kata pun, entah mengapa. Dan rasanya, dadaku sakit, seperti mau meledak.

***

Beberapa tahun berlalu dan kejadian itu, tidak bisa tidak, selalu terputar bersama dengan episode-episode sedih lainnya dalam hidupku. Aku masih selalu berkhayal, kini dengan pemikiran yang lebih canggih: seandainya semua yang kukhayalkan ini terwujud, apakah semua akan berubah dan terasa berbeda?

Orang-orang boleh menyebutnya, yang aku lakukan ini, sebagai kabur dari rumah, minggat, menggelandang... tersesat... hilang... Tapi, aku hanya melakukan ini demi harapan bahwa segala sesuatu akan terasa berbeda setelah ini.

“Nak, tidak ke sekolah?” tanya seseorang setelah dia menyapaku. Seragam cokelat. Aku memang tidak sekolah, dalam kondisi ini aku memang tidak bisa sekolah. Ia membawaku ke pos polisi setelah memberiku sebungkus nasi, tahu aku lapar.

“Nak, rumah kamu di mana?” tanya polisi itu sambil memasang senyum ramah di wajah.

“Jakarta.”

“Jauh sekali kamu dari Jakarta. Orangtuamu tahu kamu ada di sini?”

Bukan menggeleng, aku angkat bahu, dan dia berdehem.

“Siapa nama orangtuamu? Tahu nomor telepon rumah? Biar bapak hubungi mereka...” Aku memutuskan diam, tapi dia mendesak dan menaruh sebuah borgol di meja dengan suara keras. Dia menakutkan. “Siapa orangtuamu, Nak?” tanyanya lagi dengan nada tak sabar, ia siap menuliskan nama siapa saja yang kusebutkan di sebuah buku. “Saya sudah bosan dengan kasus anak hilang!”

Aku mengangkat tangan, menunjuk ke suatu arah. Si polisi mengikuti arah tanganku. Televisi.

Dia kembali menatapku. “Yang benar?” Si bintang iklan dengan senyum menawan. Dia yang cantik selalu mengundang rasa penasaran orang.

Berita besar di setiap acara infotainment keesokan harinya dan hari-hari berikutnya... Intinya, tentang ibuku dan anaknya yang masih berusia 10 tahun ini. Mereka bilang, skandal?

Beberapa saat berlalu setelah aku sampai di rumah, ramai-ramai di rumah sudah mereda. Sementara aku berusaha memejamkan mata untuk tidur, pintu menjeblak terbuka.

“Apa yang kamu lakukan?! Mengapa selalu menyusahkanku?” bentaknya sambil mencengkram lenganku. Ia menarikku jatuh dari tempat tidur dan aku melihat dia yang menakutkan. “Kamu tidak suka tinggal di sini? Anak tidak tahu diuntung!”

“Kalau ibu tidak suka aku, kenapa aku tidak boleh pergi?” balasku dengan jeritan yang sama nyaringnya. Aku tidak pernah lupa kejadian itu dan peristiwa-peristiwa setelahnya. Tangannya mendarat nyaring di pipiku. Rasanya sakit.

“Sana, pergi ke tempat kakekmu! Aku tak mau mengurusmu lagi.” Dua minggu setelahnya, aku kembali berada di kota yang jauh itu. Meninggalkan rumah, sekolah, teman, dan dia.

***

Mengapa menceritakan tentang kelahiran manusia dengan cara yang begitu bahagia?

“Nak, tidakkah sebaiknya kamu pergi ke ruang konseling?” tanya guru biologiku pada waktu itu, setelah kelas biologi berakhir, setelah beliau menjanjikan minggu depan akan diadakan ulangan untuk materi sistem reproduksi manusia.

Aku diam, sambil membalik-balik halaman buku biologiku. Judul besar sistem reproduksi manusia, gambar bayi dan anak-anak, lalu remaja dan orang dewasa yang memeluk bayi, gambar organ-organ reproduksi, gambar virus-virus dan orang yang sekarat karena penyakit...

“Tidak sepantasnya berkata begitu tentang orangtua, terutama ibumu.”

“Ada bayi-bayi yang dibiarkan mati seperti itu, mengapa tidak boleh mengharapkan mereka juga mati? Ada juga anak-anak yang dipukuli sampai mati... Banyak anak-anak dibuang...”

“Itu pertanyaan yang sulit...” Dia membereskan buku-bukunya. “Orang memang melakukan kesalahan, salah satunya tentang keputusan memiliki anak, tetapi tidak bertanggung jawab. Yakinlah, semua itu pasti ada balasannya, hanya saja itu bukan urusan kita.” Dia menatapku yang masih kecewa. “Maaf jika ibu tidak bisa menjawab yang lebih baik.”

“Apa ada anak yang tidak butuh banyak hal untuk dibesarkan sehingga orangtua tak perlu merasa susah?” tanyaku cepat-cepat.

“Gratis maksudmu? Semua hal ada pengorbanannya, Nak. Kesusahan ibumu waktu mengandungmu, lalu menjerit waktu melahirkanmu, itu yang pertama sekaligus yang terbesar kurasa.”

“Kalau begitu, mereka seharusnya berpikir dua kali sebelum mengabaikan anak mereka, kan?”

“Kalau begitu, kamu seharusnya juga berpikir dua kali sebelum membenci mereka.” Dia terkekeh dan melanjutkan jalan keluar kelas.

Hari itu adalah pertama kalinya aku bercerita tentang diriku, dan keluargaku. Sesuatu yang kusembunyikan mengalir menjadi bahan pembicaraan menarik untuk kelas, tetapi tetap menyedihkan untukku. Mereka kini mengenal aku sebagai anak korban cerai, anak yatim, anak yang dibuang orangtuanya, anak yang bertahan sendirian... Lalu apa setelah ini?

Jika hari-hari kembali berlalu, apakah akan ada artinya nilai-nilai tinggiku waktu ujian sekolah, menerima beasiswa, masuk perguruan tinggi ternama, menjadi lulusan terbaik, dan mendapatkan pekerjaan bagus? Seandainya ibu melihatku... Seandainya ibu mau melihatku... Seandainya ada ibu yang ingin melihatku...

***

Setelah berhasil menjadi dewasa, aku tahu aku tidak bisa memilih sesuatu hal di masa laluku, tetapi sepertinya aku bisa membentuk hal lain di masa depanku. Aku berharap ada anak yang bisa kulahirkan dan kubesarkan... Dia tidak akan kubiarkan mengkhayal bahwa dia adalah anak yang hilang, tertukar, yang akan ditemukan keluarganya yang sebenarnya, atau apapun. Dia tidak akan kubiarkan bercerita panjang lebar di depan kelas bahwa dia ingin tinggal di rumah tetangga. Dia tidak akan kubiarkan memahami aku seperti aku memahami ibuku.

Membayangkan yang seperti itu, entah bagaimana, aku bisa tertawa. Itu telah menjadi masa yang lewat...

Masa yang lewat... Aku hanya bisa memandang keluar jendela. Mobil melaju secepat-cepatnya membawaku pulang. Kau menggenggam tanganku yang bergetar dan dingin. Kau tak berkata apa-apa, tapi aku yakin kau paham mengapa aku tak bisa menghentikan air mata.

Sementara aku sibuk menekuni rencana untuk bertemu ibu dalam waktu dekat, pintu menjeblak terbuka. Aku terkejut karena kau muncul dengan wajah pucat pasi. “Ibumu ada di berita.”

Seandainya aku dilahirkan tanpa satu pengorbanan pun darimu, ibu, mungkin aku tak akan merasa berat tidak mengakuimu, tidak mempedulikanmu, tidak memikirkanmu. Tapi, seberapapun murahnya aku, tidak berharganya aku, aku tidak bisa mengkhayalkan yang lain...

“Apa maksudmu?”

“Tabahkan hatimu, ibumu sudah berpulang.”

Aku tak bisa mengkhayalkan yang lain kecuali bertemu dengannya, dengan diriku yang sekarang, sebentar saja.

Semarang, 18 Oktober 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun